Sabtu, 04 Agustus 2012

Tablet: Teks Multimodal Gadget Fenomenal


Teknologi yang berkembang semakin pesat dari waktu ke waktu mendorong terjadinya keberlimpahan teks dalam setiap penggunaannya. Kehadiran teks—gambar, ikon, animasi, suara, hyperlinks, bentuk, warna dan ukuran, dsb—dalam fitur-fitur yang muncul di berbagai aplikasi suatu teknologi pada akhirnya akan menuntut kemampuan dan pemahaman si pengguna. Kemampuan yang dibutuhkan tidak hanya dalam membaca setiap teks yang muncul bersamaan melainkan juga memahami dan mengoperasi teknologi tersebut. Hal ini tidaklah rumit bagi orang-orang yang terbiasa menggunakan teknologi dalam setiap aktifitasnya seperti mengoperasikan komputer dan perangkat multimedia, berkirim email, mendengarkan musik melalui MP3 player, mengirim pesan singkat—SMS dan/atau MMS—dengan menyisipkan ikon atau gambar tertentu, atau mengoperasikan perangkat rumah tangga. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengoperasikan semua teknologi tersebut secara bersamaan karena mereka telah menjadi ‘terintegrasi’ dengan teknologi yang digunakannya.

Jumat, 13 April 2012

Sastra Daerah: Sastra Sunda



Sastra Indonesia modern sebagai bagian dari budaya kontemporer tidak dapat sepenuhnya bisa melepaskan diri dari nilai-nilai setempat dan tradisional. Nilai-nilai setempat dan tradisional tersebut paling kentara pada karya sastra local (Mahmud, 1986: 24). Jika demikian maka sastra Sunda pun merupakan bagian penting sebagai warna lokal. Menurut Mahmud (1986) warna lokal Sunda muncul dengan jumlah besar setelah tahun 1950-an. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah sastra Sunda tersebut harus selalu berbahasa Sunda atau diperkenankan menggunakan bahasa Indonesia dengan tetap menerapkan unsur-unsur lokal kesundaan?

Kamis, 12 April 2012

Sastra Anak dan Komik: Diary of A Wimpy Kid



            Sastra anak di dunia sulit diketahui awal kemunculannya karena sejak abad ke-15 telah ada dua cerita, La Morte d’Arthur dan Robin Hood, yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak tapi justru sangat disukai anak-anak. Sementara cerita bergambar bagi anak-anak baru muncul pada abad 17 dengan adanya karya Jan Amos Komensky berjudul “Orbis Pictus”. Di Indonesia sendiri sastra anak sulit dilacak keberadaannya karena kisah yang diangkat lebih cenderung pada legenda-legenda dari tiap daerah. “Ketiadaan” novel anak di Indonesia membuat mereka memilih menjadi penikmat novel terjemahan dan komik.

Selasa, 06 Maret 2012

Genre Sastra



Kirszner dan Mandell (1997) mengurutkan bahwa genre merujuk pada bentuk narrative yang kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu oral dan written. Pada oral, mereka membaginya lagi pada pre-historic oral tradition yang masuk di dalamnya adalah epic seperti Illiad dan Odyssey karya Homer, Epic of Gilgamesh sebuah epic kuno dari Babylonia, Bhagavad Gita  mau pun Beowulf. Folktales dan fairy tales berada pada tahap oral tradition yang tidak memiliki keterangan waktu atau tempat karena selalu diawali dengan “Once upon a time” (1997: 38-39) misalnya fable dan parable.

Rabu, 22 Februari 2012

Paradoksikal Being Single and Happy


(Kajian Ideologis pada Chick-lit Terjemahan “Learning Curves” dan Chick-lit Indonesia “Orang Ketiga”)

Pendahuluan
            Novel chick-lit sempat meledak pada tahun 2000-an di Indonesia dan bertahan selama beberapa tahun. Pada masa itu setiap toko buku di kota Bandung menjual ratusan judul novel chick-lit. Akan tetapi, saat saya menulis kajian ini agaknya sulit mencari novel yang diberi label “chick-lit” seperti dulu. Chick-lit ditujukan pada perempuan lajang dengan rentang usia yang memasuki kategori dewasa muda karena kisahnya hanya mengenai seputar kehidupan mereka.
            Chick-lit muncul dan membuat perempuan mulai gemar membaca. Perempuan cenderung enggan membaca buku atau novel yang dianggapnya rumit, sehingga ketika chick-lit muncul mereka merasa “tercerahkan”. Kisah dalam chick-lit, baik terjemahan maupun karya asli, hampir selalu sama, selalu berbicara mengenai cinta, karir dan kebahagiaan menjadi seorang perempuan lajang.

Kamis, 12 Januari 2012

Rendezvous Me

Memilih profesi bukanlah pekerjaan mudah, terlebih lagi idealisme dan humanisme akan selama mengalami benturan. Sering kali orang-orang yang telah mengeyam dunia kerja mengatakan bahwa kehidupan yang sesungguhnya justru baru dimulai ketika memasuki dunia kerja. Sayangnya, aku sangat sepakat dengan pernyataan tersebut, dan seharusnya ada penambahan yaitu saat memasuki lingkungan masyarakat yang heterogen. Tidak jarang orang-orang merasa kelabakan ketika memasuki dua dunia baru itu.

Mencari pekerjaan menjadi jauh lebih susah karena seseorang memiliki standar tinggi terhadap kualitas diri dan merasa diri lebih layak di posisi tertentu. Akan tetapi hal tersebut merupakan penilaian sepihak, yaitu dari diri kita sendiri. Alhasil, seringkali seseorang berpindah-pindah tempat kerja dengan alasan yang sebenarnya sangat manusiawi yaitu gaji yang tidak sesuai, lingkungan kerja yang tidak kondusif serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Tidak bisa dipungkiri aku pun tergoda dengan tiga hal tersebut ^^ tapi pada akhirnya aku harus bertanggung jawab pada apa yang sudah menjadi pilihanku sehingga apapun resikonya harus aku tanggung dengan ikhlas.