Jumat, 18 Juli 2008

Moral Politik Sastra


On a wagon, bound for market
There’s a calf with a mournful eye
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky
How the winds are laughing?
They laugh with all their might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summers night
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Do
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Do
“Stop complaining” said the farmer
“Who told you a calf to be?”
“Why don’t you have wings to fly with?”
“Like the swallow so proud and free”
Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow has learned to fly

Dana Dana” sebuah lagu klasik tahun 1940an, menggambarkan seekor lembu yang digiring menuju penjagalan sebagai cerminan kondisi kaum Yahudi pada saat terjadi peristiwa Holocaust. Pada awalnya lirik tersebut ditulis dalam bahasa Ibrani untuk dipentaskan dalam sebuah teater, namun kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sehingga mengalami banyak perubahan. Dengan demikian judul lirik yang pada awalnya adalah Dana Dana, juga dikenal sebagai “Dos Kelbi” atau “a calf” berubah menjadi Donna Donna. Perubahan tersebut tidak menghilangkan esensi dari nilai yang ingin disampaikan.

Akan tetapi yang akan kita bicarakan bukanlah seberapa populer, atau seberapa banyak perubahan yang terjadi akibat penterjemahan dalam beberapa bahasa ataupun struktur yang terdapat dalam setiap lariknya. Fokus dari pembicaraan ini adalah politik dan kuasa yang direfleksikan dalam bahasa. Hal tersebut dikarenakan sastra seringkali digunakan untuk mengungkapkan banyak hal, politik sekalipun.

Apabila melihat fungsi kesusastraan sendiri maka akan terdapat beberapa fungsi, yaitu fungsi sosial dan politik, penciptaan budaya, serta instrumen bagi penyebaran ideologi. Karya sastra dianggap
create national communities by their postulation of and appeal to a broad community of readers[1]. Gagasan dan pemikiran yang dilahirkan melalui karya sastra dapat menyebabkan munculnya kelompok masyarakat yang bermaksud mengembangkan, memperbaharui ataupun membuat budaya yang ada menjadi lebih beradab. Menggerakkan masyarakat dari ketidak beradaban menjadi “terhormat” dan bebas, dimana seorang individu merupakan makhluk bebas dari tuntutan sosial.

Karya sastra membuat kita dan masyarakat luas menyadari bahwa melaluinya ideologi disuguhkan tanpa paksaan dan membuat berpikir lebih jauh mengenai hal-hal yang tellah dianggap baku atau absolut dalam masyarakat.
The function of literature, through all its mutations, has been to make us aware of the particularity of selves, and the high authority of the self in its quarrel with its society and its culture. Literature is in that sense subversive.[2]   

Karya sastra berkaitan erat dengan manusia baik segala tindakan maupun pemikirannya sehingga menjadikannya sulit membedakan teks mana yang bukan bagian dari karya sastra. Di dasarkan pada hal ini pula, semua bidang dapat menjadi bagian dari sastra. Sebuah teks pidato seorang politisi menjadi tidak jauh berbeda dengan sebuah teks puisi atau prosa. Sastra pun menjadi sebuah cara untuk mengkritisi kondisi lingkungan yang terjadi.

Makna yang ters
irat dari bait-bait lirik di atas sangatlah politis dan penuh dengan nilai moral. Sedangkan makna yang tersirat sangat mendalam dari syair tersebut. Sang penulis bermaksud menyampaikan bahwa takdir seseorang tidak dapat diubah tetapi nasibnya dapat diubah oleh tindakan dan keputusan seseorang tersebut. Sebuah perjuangan untuk mencapai idealisme ataupun harapan tersebut, seseorang harus mampu dan rela berkorban karena pada akhirnya meskipun berat apa yang menjadi harapannya dapat terlaksana. Baik oleh orang tersebut ataupun oleh orang-orang setelahnya.



[1] Benedict Anderson
[2] Lionel Triling