Selasa, 02 September 2008

The Intentional Fallacy dalam Karya Chaucer

Wimsatt dan Beardley berpendapat bahwa rancangan atau maksud seorang penulis tidak ada dan diinginkan sebagai sebuah standard penilaian kesuksesan sebuah karya sastra dan hal tersebut menjadi sebuah prinsip mendalam pada sikap kritik sastra. Sebuah prinsip yang diterima atau ditolak pada titik klasik “imitasi” dan ekspresi Romantis, dimana di dalamnya terdapat kebenaran spesifik akan inspirasi, keaslian, biografi, sejarah sastra dan trend puisi kontemporer terutama alusivitas atau referensinya.
Intention atau maksud ada dan dibuat pada pikiran seorang penulis, dimana maksud tersebut memiliki hubungan yang jelas bagi penulis dalam menyikapi karyanya, yang dirasakannya dan sebab yang membuatnya menulis.
Sebuah puisi tidak mungkin dibuat dengan tanpa sengaja sebab kata-kata dalam puisi berasal dari pemikiran seorang penulis. Tujuan penulis pada saat membuat karya semestinya dinilai pada saat proses kreatif pembuatannya atau dengan kata lain seni dari berpuisi tersebut. Sebuah puisi dapat menjadi sesuatu dengan melihat maknanya sebab puisi memiliki makna yang rumit, dan disebut berhasil apabila semua atau sebagian dari isinya relevant. Puisi tentunya berbeda dengan pesan-pesan praktis yang berhasil dipahami hanya jika penerima pesan benar dalam menangkap maksud pengirim pesan. Makna dari sebuah puisi dapat bersifat pribadi jika berisikan ungkapan kepribadian atau kondisi jiwa ketimbang bentuk fisik. Saat seorang penulis merevisi untuk memperoleh maksud yang sebenarnya tetapi itu akan membuat maksud awalnya yang konkrit bukanlah sesuatu yang dimaksudnya.
Geofrey Chaucer tumbuh dan berkembang pada era Romantik yang memberinya pengaruh besar dengan cara yang berbeda. Chaucer pertama kalinya membaca sebuah karya puisi berbahasa Perancis Le Roman de La Rose dan Machaut. Kedua puisi ini menginspirasi Chaucer untuk berkarya. Dalam The Canterbury Tales, Chaucer tentunya memiliki maksud tersendiri saat pertama kali membuat General Prologue. Chaucer mengimitasi karakter yang ada dalam karyanya dari sosok-sosok nyata yang mengikuti perziarahan ke makam St. Thomas a Becket. Chaucer pun memiliki empat peran sekaligus dalam setiap karyanya yaitu sebagai the man (Chaucer yang hidup dan mati pada abad ke-14), the works (Chaucer yang dikenal melalui karya tulisnya), the narrator (Chaucer yang menggambarkan dirinya sendiri pada karya yang dipilihnya) dan the exam (Chaucer yang menjadi bahan studi). Dengan demikian dapat dikatakan hasil karyanya sekaligus biografinya. Setiap tokoh pada The Canterbury Tales memiliki kisahnya masing-masing yang disampaikan kembali oleh Chaucer dan masing-masing cerita memiliki sejarahnya sendiri.
Chaucer sebelumnya menulis The Book of The Duchess dan tidak ada karya miliknya yang terikat erat dan jelas pada seseorang, tempat dan waktu tertentu seperti karyanya yang satu ini. Chaucer menggambarkan kondisi jiwanya sebagai seorang pemurung, dipenuhi rasa berduka seolah perasaan tersebut membawanya pada kematian. The Book of The Duchess menjadi sebuah point yang menarik dalam sejarah puisi Inggris.
Sedangkan dalam Troilus and Criseyde–sebuah kisah hidup seorang pejuang terbaik Troy–Chaucer menggambarkan dirinya sebagai dirinya sendiri dan memiliki kerumitan yang menarik. Pada awalnya dia menggambarkan dirinya sebagai seorang pendongeng yang meyampaikan ketertarikannya pada sebuah kisah. Ekspresi sedihnya menggambarkan kesedihan isi sebuah kisah, pengabdiannya pada sang kekasih, dan kesuksesannya yang tidak begitu bersinar.

Referensi:
Adams, Hazard. Critical Theory Since Plato. Harcourt Brace Jovanovich. University of California.
Brewer, Derek. An Introduction to Chaucer. Longman Inc., New York 1984.
Chaucer, Geofrey. The Canterbury Tales. Oxford University Press. 1986.