Sastra Indonesia modern
sebagai bagian dari budaya kontemporer tidak dapat sepenuhnya bisa melepaskan
diri dari nilai-nilai setempat dan tradisional. Nilai-nilai setempat dan
tradisional tersebut paling kentara pada karya sastra local (Mahmud, 1986: 24).
Jika demikian maka sastra Sunda pun merupakan bagian penting sebagai warna
lokal. Menurut Mahmud (1986) warna lokal Sunda muncul dengan jumlah besar
setelah tahun 1950-an. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah sastra
Sunda tersebut harus selalu berbahasa Sunda atau diperkenankan menggunakan
bahasa Indonesia dengan tetap menerapkan unsur-unsur lokal kesundaan?
Rosidi menyebutkan
periodisasi sastra Sunda berdasarkan pada kronologis kemunculannya diawali oleh
Jaman Buhun dengan menempatkan carita
pantun di dalamnya. Jaman Kamari
merupakan periodisasi pada masa penjajahan dan pada masa ini hanya karya Haji
Hasan Mustapa yang dapat bertahan. Kebangkitan sastra Sunda setelah kemerdekaan
kemudian disebutnya sebagai Jaman Kiwari
(1983: 10-31).
Untuk membahas sastra Sunda
ini, sebuah buku kumpulan cerita pendek berjudul “Awewe Dulang tinande” karya
Tjaraka dipilih. Tjaraka merupakan nama pena dari Wiranta, seorang sastrawan
Sunda yang menjdapat gelar perintis kemerdekaan. Karya-karya kemudian banyak
dimuat pada sebuah majalah lokal berbahasa Sunda, Mangle. Di dalam “Awewe
Dulang tinande” terdapat sembilan belas cerita pendek berbahasa Sunda yang
diambil dari Mangle dengan edisi terpisah.
Bahasa yang digunakan di
dalam setiap penuturan pada cerpennya tidak memilih bahasa yang rumit sehingga
dapat dimengerti oleh masyarakat awam. Meskipun demikian, undak usuk basa
sangat diperhatikan. Pada setiap cerita pendek yang ditulisnya, Tjaraka
menggambarkan dengan jelas keadaan sosio-kultural masyarakat Sunda dari tiga
bagian yaitu masa sebelum pendudukan Jepang (zaman normal), saat pendudukan
Jepang serta setelah Indonesia merdeka. Oleh karena itu karya-karya Tjaraka
terasa dekat dengan kehidupan masyarakat Sunda dan tidak sekadar fantasi
belaka, terlebih lagi banyak dari cerita tersebut dilatarbelakangi oleh
pengalaman hidupnya sendiri
Tjaraka yang sangat kental
menggambarkan kondisi masyarakat Sunda pada masa-masa kolonial kemudian dapat
digolongkan kedalam genre sastra poskolonial. Selain bahasa yang digunakan,
Tjaraka pun memaparkan dengan jelas figur-figur kaum penjajah melalui
tuturan-tuturan para tokoh yang terdapat dalam cerita pendek tersebut. Dengan
demikian karya-karya Tjaraka dapat dimasukkan ke dalam karya dari Jaman Kamari.
Sehubungan dengan
perkembangan sastra Sunda, sebuah penghargaan diberikan kepada baik
perseorangan maupun lembaga yang dianggap telah berjasa dalam pengembangan
bahasa dab sastra daerah. Penghargaan ini disebut Hadiah Sastra Rancage yang
diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. Kumpulan cerita pendek “Awewe Dulang
Tinande” pun memperoleh penghargaan tersebut pada tahun 1998, 15 tahun setelah
wafatnya Tjaraka. Penghargaan tersebut rupa-rupanya bermaksud untuk
membangkitkan kembali sastra Sunda.
Daftar Pustaka
Mahmud, Kusman K. 1986. Sastra Indonesia dan Daerah.
Bandung: Penerbit Angkasa.
Rosidi, Ajip. 1983. Ngalanglang Kasusastraan Sunda.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Tjaraka. 1997. Awewe Dulang Tinande. Jakarta: Giri
Mukti Pasaka.
Yayasan Kebudayaan Rancage. 1998. Hadiah Sastera "Rancage" 1998.
Yayasan Kebudayaan Rancage. 1998. Hadiah Sastera "Rancage" 1998.
Menarik juga yaa...
BalasHapus*blogwalking dan exchange link visit back http://catatanhandy.blogspot.com/