Kamis, 16 Juni 2011

Psyche [1]


Dunia itu sangat aneh. Bukan, yang membuat aneh itu adalah manusia yang ada di dalamnya. Memang itu mungkin saja terjadi, aku tidak merasa menjadi seorang yang aneh. Tentu saja, karena kau orang yang juga aneh. Hahaha. Baiklah, aku terlalu aneh. Duniaku sama saja dengan mereka, lalu apa yang membedakannya sehingga mereka menganggapku berbeda?
Apakah kau menemukan seseorang yang begitu sering berbicara sendiri? Rasanya tidak, selain diriku tentunya. Hahaha. Karena jika kau temukan orang semacam itu, dia pasti berada dalam panti rehabilitasi, sementara kau entah bagaimana caranya bisa berkeliaran. Hahaha. Pastinya karena aku menjaga kewarasanku, dan terlebih lagi aku tahu kapan harus mengajakmu berbicara atau diam.
“Ginessa, kau melamun?” seseorang menyentuh pundakku sambil lalu.
“Hai. Bukan melamun tapi mengamati banyak hal di sekelilingku.” Jawabku sambil membenahi rambut yang menutupi matanya.
Tuhan, pria ini selalu saja membuatku merinding. Dia membuatmu jatuh hati berkali-kali, tepatnya. Aku tersenyum kecil dan menyentuh punggung tangannya.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” Tuhan, wajahnya begitu manis dan lembut, pria ini yang membuatku tidak lagi waras. Lagipula kau sejak lama kehilangan kewarasanmu. Komentarmu saat ini sama sekali tidak aku perlukan, jadi diamlah.
“Kau tampak sangat segar hari ini, bukan berarti kemarin kau tampak lusuh.” Dia tersenyum dan mencium keningku. Sepertinya tubuhku berbicara sendiri tanpa membutuhkanku mewakilinya. “Kau sudah makan siang? Kalau belum, biar aku yang mentraktirmu makan kali ini.”
“Hahaha kau sudah mendapatkan pembayaran untuk pekerjaanmu itu?”
“Sialan kau, aku bukan orang kaya tapi kalau sekadar membayarkan makan siangmu aku tidak akan langsung bangkrut.” Nail menggamit lenganku dan menjinjing tasnya.
Kau berusaha sangat keras untuk berhenti berpikir tentang bibirnya itu, tapi aku tidak bisa kau bohongi, Sayang. Aku tidak peduli, toh, tak seorang pun di dunia ini bisa mendengarmu selain aku. Jadi silakan saja terus mengoceh.
“Mau makan siang apa? Aku semalam tidak sempat makan, jadi sepertinya porsiku double.” Aku berdiri tepat dibelakang tubuhnya dalam antrian sebuah gerai makan, merasakan kehadirannya sangat luar biasa sehingga membuatku berhenti berpikir yang lain selain dirinya.
“Gin sayang, mau makan apa?” kali ini dia bertanya padaku sambil membenahi lilitan syal di leherku.
“Aku makan seperti biasa saja, rissoto pedas, boleh?”
Bumi memanggil Ginessa....Hey hapus air liurmu itu, Nona. Nail mengangguk dan menyebutkan pesananku pada pelayan kemudian membayar tagihannya. Dia berjalan menarikku menjauh dari kasir dan mendudukkanku pada kursi di bagian ujung gerai tersebut.
“Nai, kau sibuk ya?”
Nope. Sepertinya justru kau yang sangat sibuk. Kita sudah sangat jarang pergi bersama.” Tatapan matanya mengiba, aku tahu belakangan ini dia terabaikan.
Sorry, you must be very lonely.” Kau sungguh menyedihkan. Nail menatapku dan tersenyum.
Sekitar lima menit kemudian makanan kami datang dan Nail memang tampak sangat kelaparan. Perutku sebenarnya belum terlalu lapar tapi tidak ada salahnya juga aku isi penuh. Malam ini kau akan kembali berkutat dengan tumpukan laporan itu jadi puaskan perutmu.
“Nai,”
“Hmm,” aku mendengar dia menggumam tapi wajahnya masih tertunduk serius pada makanannya.
“Sudah aku putuskan untuk mengundurkan diri dari program itu. Aku capek dan jenuh.” Nail menengadah menelan makanannya dan aku malah terbayang perjalanan panjang makanan itu sampai ke perut. 
“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku tidak akan memaksakan hal yang memang tidak kau mau.” Menunggu reaksi apa yang mungkin akan muncul selanjutnya, Nail belum menyuapkan lagi makanan dalam mulutnya.
“Aku berharap semua ini dapat mereka pahami, kalau pun tidak, aku tidak lagi peduli. Aku sudah jenuh dengan lingkungan itu, membuatku takut untuk menjadi siapa diriku yang sesungguhnya.”
“Jika mereka tidak mampu menerimamu apa adanya, aku mampu. Bahagialah dengan menjadi dirimu sendiri.” Kali ini Nail menyuapkan sesendok penuh omellet jamur keju itu sambil tersenyum.
Thanks.” Akhirnya aku menyendok rissoto yang sejak tadi di hadapanku.
Tidak semua orang bisa mengerti dirimu, kau hanya akan berakhir menyedihkan saat memilih untuk terlalu menjadi apa yang mereka mau. Aku tahu jadi sekarang keputusan itu sudah bulat. Aku dan Nail tidak lagi merasa untuk takut atau jengah setiap kali ingin pergi bersama. Kami sudah benar-benar tidak peduli dengan apa yang orang-orang pikirkan.
“Kau tahu kan tidak semua orang bisa mengerti dirimu, kau hanya akan berakhir menyedihkan saat memilih untuk terlalu menjadi apa yang mereka mau.” Aku tersedak, Nail mengasongkan orange crush miliknya.
“Seseorang pernah mengatakan hal itu, Nai” jawabku setelah meneguk minuman dingin miliknya. Hahaha. Dia bisa mendengarku Gin. Ah hanya sebuah kebetulan.
“Oya? Siapa?” Nail menghapus noda di kedua ujung bibirnya lalu mengendurkan simpul dasinya. Aku hanya bergumam mengangkat bahu dan melanjutkan makan.
Kami terdiam cukup lama sampai seorang gadis muda, mungkin sekitar tujuh belas tahunan, menyenggol ujung meja tempat kami makan. Gadis sialan, dimana matamu kau pasang? Mulutku tetap terkatup tapi mataku terus mengikutinya jika saja Nail tidak mengejutkanku.
“Kau tidak apa-apa?” Nail bertanya padaku dan melihat ke arah gadis itu tanpa ekspresi apapun. “Anak sekarang tidak punya sopan santun.” Katanya membenahi serbet makan di pangkuannya.
Kau lihat gadis itu? Lihat betapa kau sangat menyedihkan. Sekarang karena kau menyebutnya aku harus melihat lagi ke arah gadis itu. Aku dulu pernah seperti itu, ceria, segar dan cantik. Hahaha itu dulu, dan sekarang kau lihat Nail! Dia pria muda yang miliki banyak kesempatan besar dalam hidup. Nah, apa sekarang kau merasa pantas ada bersamanya? Aku tahu mungkin tidak pantas tapi aku bahagia dengannya.
“Gin, kenapa?” Suara Nail menyadarkanku. “Kau terlalu sering diam hari ini, ada masalah apa yang bisa aku bantu?”
Aku perhatikan piring makanannya sekarang sudah kosong, bersih malah. Kau sungguh menyedihkan, Ginessa.
“Hmm, aku baik. Maaf ya sepertinya aku terlalu lelah.”
“Ya sudah, aku antar kau pulang ya.”
Jangan pernah kau berharap dia akan tinggal setelah mengantarmu pulang.
“Baiklah, terimakasih.”

*********************