Jumat, 31 Oktober 2008

Analisis Makna Tradition and Individual Talent

Sebuah karya atau seni, menurut T.S. Eliot, tidak dapat dikatakan bersifat tradisional ataupun terlalu tradisional tanpa ada maksud mencela. Karena makna tradisi itu sendiri masih tidak jelas walaupun istilah tersebut sering digunakan. Suatu perbuatan atau kebiasaan tidak dapat disebut sebagai tradisi tanpa adanya kerja keras agar perbuatan atau kebiasaan tersebut dapat diterima dan dilakukan turun temurun juga adanya historical sense yang mencakup persepsi akan masa lampau dan keberadaannya.

Menurutnya setiap bangsa memiliki kreativitasnya masing-masing serta pemikiran-pemikiran kritis tanpa dibatasi oleh suatu tradisi. T.S. Eliot mengatakan bahwa bangsa Perancis sangat kritis dalam berbagai hal sehingga dia membandingkan diri dan bangsanya sendiri dengan bangsa Perancis. Bersikap kritis diibaratkan bernafas sehingga tidak dapat dinafikan, dihalangi ataupun dinilai buruk. Kritik yang disampaikan seseorang adalah hasil dari pemikirannya atau pemahamannya terhadap suatu karya sehingga kritik tersebut bersifar relatif bahkan apabila ia tidak melihat siapa yang mempengaruhi karya penulis tersebut maka tentunya ia akan menemukan yang terbaik dan paling pribadi. Kritik semacam ini bagi Eliot adalah kritik pada periode kematangan penuh. Namun kritik tersebut dapat berubah jika ia memiliki kecenderungan atau mengagumi penulis. Ia akan memaksakan pemikiran dan pemahaman dirinya untuk menerima serta berpura-pura telah menemukan esensi dari penulis tersebut. Seorang penulis pun mengalami hal yang sama dimana dia terpengaruh oleh para pendahulunya.

Mengenai hal tersebut Eliot menyatakan bahwa “no poet, so artist of any art, has his complete meaning alone. His appreciation is the appreciation of his relation to the dead poets and artist.” Eliot setuju sepenuhnya pada pernyataan “The dead writers are remote from us because we know so much more than they did.” Mungkin yang dimaksud Eliot adalah karena orang pada masa kini telah mengetahui dan mengalami apa yang dulu masih diimpikan atau dikhayalkan oleh orang di masa lalu. Oleh karena itu, Eliot mengatakan bahwa pengalaman memang memiliki pengaruh, dan pengalaman yang dimaksudnya adalah emosi dan perasaan.

Selasa, 02 September 2008

The Intentional Fallacy dalam Karya Chaucer

Wimsatt dan Beardley berpendapat bahwa rancangan atau maksud seorang penulis tidak ada dan diinginkan sebagai sebuah standard penilaian kesuksesan sebuah karya sastra dan hal tersebut menjadi sebuah prinsip mendalam pada sikap kritik sastra. Sebuah prinsip yang diterima atau ditolak pada titik klasik “imitasi” dan ekspresi Romantis, dimana di dalamnya terdapat kebenaran spesifik akan inspirasi, keaslian, biografi, sejarah sastra dan trend puisi kontemporer terutama alusivitas atau referensinya.
Intention atau maksud ada dan dibuat pada pikiran seorang penulis, dimana maksud tersebut memiliki hubungan yang jelas bagi penulis dalam menyikapi karyanya, yang dirasakannya dan sebab yang membuatnya menulis.
Sebuah puisi tidak mungkin dibuat dengan tanpa sengaja sebab kata-kata dalam puisi berasal dari pemikiran seorang penulis. Tujuan penulis pada saat membuat karya semestinya dinilai pada saat proses kreatif pembuatannya atau dengan kata lain seni dari berpuisi tersebut. Sebuah puisi dapat menjadi sesuatu dengan melihat maknanya sebab puisi memiliki makna yang rumit, dan disebut berhasil apabila semua atau sebagian dari isinya relevant. Puisi tentunya berbeda dengan pesan-pesan praktis yang berhasil dipahami hanya jika penerima pesan benar dalam menangkap maksud pengirim pesan. Makna dari sebuah puisi dapat bersifat pribadi jika berisikan ungkapan kepribadian atau kondisi jiwa ketimbang bentuk fisik. Saat seorang penulis merevisi untuk memperoleh maksud yang sebenarnya tetapi itu akan membuat maksud awalnya yang konkrit bukanlah sesuatu yang dimaksudnya.
Geofrey Chaucer tumbuh dan berkembang pada era Romantik yang memberinya pengaruh besar dengan cara yang berbeda. Chaucer pertama kalinya membaca sebuah karya puisi berbahasa Perancis Le Roman de La Rose dan Machaut. Kedua puisi ini menginspirasi Chaucer untuk berkarya. Dalam The Canterbury Tales, Chaucer tentunya memiliki maksud tersendiri saat pertama kali membuat General Prologue. Chaucer mengimitasi karakter yang ada dalam karyanya dari sosok-sosok nyata yang mengikuti perziarahan ke makam St. Thomas a Becket. Chaucer pun memiliki empat peran sekaligus dalam setiap karyanya yaitu sebagai the man (Chaucer yang hidup dan mati pada abad ke-14), the works (Chaucer yang dikenal melalui karya tulisnya), the narrator (Chaucer yang menggambarkan dirinya sendiri pada karya yang dipilihnya) dan the exam (Chaucer yang menjadi bahan studi). Dengan demikian dapat dikatakan hasil karyanya sekaligus biografinya. Setiap tokoh pada The Canterbury Tales memiliki kisahnya masing-masing yang disampaikan kembali oleh Chaucer dan masing-masing cerita memiliki sejarahnya sendiri.
Chaucer sebelumnya menulis The Book of The Duchess dan tidak ada karya miliknya yang terikat erat dan jelas pada seseorang, tempat dan waktu tertentu seperti karyanya yang satu ini. Chaucer menggambarkan kondisi jiwanya sebagai seorang pemurung, dipenuhi rasa berduka seolah perasaan tersebut membawanya pada kematian. The Book of The Duchess menjadi sebuah point yang menarik dalam sejarah puisi Inggris.
Sedangkan dalam Troilus and Criseyde–sebuah kisah hidup seorang pejuang terbaik Troy–Chaucer menggambarkan dirinya sebagai dirinya sendiri dan memiliki kerumitan yang menarik. Pada awalnya dia menggambarkan dirinya sebagai seorang pendongeng yang meyampaikan ketertarikannya pada sebuah kisah. Ekspresi sedihnya menggambarkan kesedihan isi sebuah kisah, pengabdiannya pada sang kekasih, dan kesuksesannya yang tidak begitu bersinar.

Referensi:
Adams, Hazard. Critical Theory Since Plato. Harcourt Brace Jovanovich. University of California.
Brewer, Derek. An Introduction to Chaucer. Longman Inc., New York 1984.
Chaucer, Geofrey. The Canterbury Tales. Oxford University Press. 1986.

Jumat, 18 Juli 2008

Moral Politik Sastra


On a wagon, bound for market
There’s a calf with a mournful eye
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky
How the winds are laughing?
They laugh with all their might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summers night
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Do
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Do
“Stop complaining” said the farmer
“Who told you a calf to be?”
“Why don’t you have wings to fly with?”
“Like the swallow so proud and free”
Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow has learned to fly

Dana Dana” sebuah lagu klasik tahun 1940an, menggambarkan seekor lembu yang digiring menuju penjagalan sebagai cerminan kondisi kaum Yahudi pada saat terjadi peristiwa Holocaust. Pada awalnya lirik tersebut ditulis dalam bahasa Ibrani untuk dipentaskan dalam sebuah teater, namun kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sehingga mengalami banyak perubahan. Dengan demikian judul lirik yang pada awalnya adalah Dana Dana, juga dikenal sebagai “Dos Kelbi” atau “a calf” berubah menjadi Donna Donna. Perubahan tersebut tidak menghilangkan esensi dari nilai yang ingin disampaikan.

Akan tetapi yang akan kita bicarakan bukanlah seberapa populer, atau seberapa banyak perubahan yang terjadi akibat penterjemahan dalam beberapa bahasa ataupun struktur yang terdapat dalam setiap lariknya. Fokus dari pembicaraan ini adalah politik dan kuasa yang direfleksikan dalam bahasa. Hal tersebut dikarenakan sastra seringkali digunakan untuk mengungkapkan banyak hal, politik sekalipun.

Apabila melihat fungsi kesusastraan sendiri maka akan terdapat beberapa fungsi, yaitu fungsi sosial dan politik, penciptaan budaya, serta instrumen bagi penyebaran ideologi. Karya sastra dianggap
create national communities by their postulation of and appeal to a broad community of readers[1]. Gagasan dan pemikiran yang dilahirkan melalui karya sastra dapat menyebabkan munculnya kelompok masyarakat yang bermaksud mengembangkan, memperbaharui ataupun membuat budaya yang ada menjadi lebih beradab. Menggerakkan masyarakat dari ketidak beradaban menjadi “terhormat” dan bebas, dimana seorang individu merupakan makhluk bebas dari tuntutan sosial.

Karya sastra membuat kita dan masyarakat luas menyadari bahwa melaluinya ideologi disuguhkan tanpa paksaan dan membuat berpikir lebih jauh mengenai hal-hal yang tellah dianggap baku atau absolut dalam masyarakat.
The function of literature, through all its mutations, has been to make us aware of the particularity of selves, and the high authority of the self in its quarrel with its society and its culture. Literature is in that sense subversive.[2]   

Karya sastra berkaitan erat dengan manusia baik segala tindakan maupun pemikirannya sehingga menjadikannya sulit membedakan teks mana yang bukan bagian dari karya sastra. Di dasarkan pada hal ini pula, semua bidang dapat menjadi bagian dari sastra. Sebuah teks pidato seorang politisi menjadi tidak jauh berbeda dengan sebuah teks puisi atau prosa. Sastra pun menjadi sebuah cara untuk mengkritisi kondisi lingkungan yang terjadi.

Makna yang ters
irat dari bait-bait lirik di atas sangatlah politis dan penuh dengan nilai moral. Sedangkan makna yang tersirat sangat mendalam dari syair tersebut. Sang penulis bermaksud menyampaikan bahwa takdir seseorang tidak dapat diubah tetapi nasibnya dapat diubah oleh tindakan dan keputusan seseorang tersebut. Sebuah perjuangan untuk mencapai idealisme ataupun harapan tersebut, seseorang harus mampu dan rela berkorban karena pada akhirnya meskipun berat apa yang menjadi harapannya dapat terlaksana. Baik oleh orang tersebut ataupun oleh orang-orang setelahnya.



[1] Benedict Anderson
[2] Lionel Triling

Senin, 16 Juni 2008

Feminisme Kulit Hitam dalam Black Madonna Karya Doris Lessing



Feminisme muncul disebabkan oleh adanya perasaan yang disertai pemikiran mengenai eksistensi perempuan di dunia laki-laki. Perempuan yang merasakan dirinya menjadi warga Negara kelas dua tidak hanya oleh masyarakatnya tapi juga oleh keluarganya. Setiap peranan yang mereka miliki tidak luput dari batasan yang dibuat oleh kaum laki-laki. Batasan yang mucul dari tradisi yang membudaya dimana perempuan hanya boleh memiliki peran dalam urusan-urusan domestic atau rumah tangga saja. Mereka tidak diberikan izin atau kesempatan untuk memiliki pendapat dalam urusan selain domestic, seperti: politik, ekonomi dan social.

Gerakan-gerakan feminisme muncul hingga tiga gelombang dan terus berkembang menyebar hampir ke seluruh wilayah Amerika Serikat. Penggerak feminisme ini tentu saja digawangi oleh  para perempuan, akan tetapi mereka berasal dari kaum kulit putih yang kemudian menimbulkan permasalahan baru. Anggapan bahwa mereka hanya memperjuangkan hak-hak perempuan kulit putih saja, padahal isu yang mereka angkat seharusnya melebihi masalah ras.

Perbedaan yang muncul dari ras beralih menjadi status dan kelas yang mereka sandang, dimana perempuan kulit putih yang masuk dalam kelas menengah berbeda secara drastis dengan perempuan kulit hitam dengan kelas yang sama. Standar kehidupan mereka berbeda seolah tidak hanya karena status mereka tetapi lebih karena ras asal mereka. Hal ini menyebabkan pesan yang dibawa oleh kedua belah pihak tidak dapat dipahami secara utuh atau justru tidak bermakna. Satu akar masalah yang menuntun pada masalah-masalah lain dimana sebenarnya perempuan dapat mengaktualisasikan diri tanpa harus mempedulikan ras dan strata asal mereka.

Berdasarkan pada permasalahan inilah, analisis dibuat terhadap isu pemikiran feminis perempuan kulit hitam yang dibawakan oleh seorang perempuan kulit putih, Doris Lessing, dalam karyanya The Black Madonna. Penuturan cerita pendek ini menggunakan sudut pandang orang ketiga,, yang menurut penulis dapat mewakili pemikiran feminis perempuan kulit hitam.

"I use the term here simply to refer to Black female critics who analyze the works of Black female writers from a feminist political perspective. But the term can also apply to any criticism written by a Black woman regardless of her subject or perspectives book written by a male from a feminist or political perspective, a book written by a Black woman or about Black women authors in general, or any writings by women." (1985, 191)[1]

Black feminist thought demonstrates Black women's emerging power as agents of knowledge. By portraying African-American women as self-defined, self-reliant individuals confronting race, gender, and class oppression, Afrocentric feminist thought speaks to the importance that oppression, Afrocentric feminist thought speaks to the importance that knowledge plays in empowering oppressed people. New knowledge is important for both dimensions of change.[2]
Afrocentric feminist thought offers two significant contributions toward furthering our understanding of the important connections among knowledge, consciousness, and the politics of empowerment. First, Black feminist thought fosters a fundamental paradigmatic shift in how we think about oppression. By embracing a paradigm of race, class, and gender as interlocking systems of oppression, Black feminist thought reconceptualizes the social relations of domination and resistance. Second, Black feminist thought addresses ongoing epistemological debates in feminist theory and in the sociology of knowledge concerning ways of assessing "truth." Offering subordinate groups new knowledge about their own experiences can be empowering. But revealing new ways of knowing that allow subordinate groups to define their own reality has far greater implications.[3]
Black women's experiences and the Afrocentric feminist thought rearticulating them also challenge prevailing definitions of community. Black women's actions in the struggle or group survival suggest a vision of community that stands in opposition to that extant in the dominant culture. Denied access to the podium, Black women have been unable to spend time theorizing about alternative conceptualizations of community. Instead, through daily actions African-American women have created alternative communities that empower.[4]
For Black women who are agents of knowledge, the marginality that accompanies outsider-within status can be the source of both frustration and creativity. In an attempt to minimize the differences between the cultural context of African-American communities and the expectations of social institutions, some women dichotomize their behavior and become two different people.[5]

Istilah feminis kulit hitam bukan berarti hanya berlaku bagi perempuan kulit hitam saja tapi juga laki-laki kulit putih dan/atau hitam juga perempuan kulit putih yang memiliki tatanan berpikir seperti halnya para perempuan kulit hitam atau yang hanya menceritakan mengenai kehidupan wanita berkulit hitam.. Dengan demikian, menurut penulis Doris Lessing dapat dikategorikan sebagai seorang feminis yang memiliki pemikiran perempuan kulit hitam meskipun dia berasal dari ras kulit putih dan dapat disebut sebagai Black feminist.
Para feminis kulit hitam atau hanya sekedar perempuan berkulit hitam ingin menunjukkan bahwa di dalam dirinya pun terdapat satu kekuatan untuk mengawali sebuah perubahan mersipun mereka terepresi oleh isu-isu ras, gender dan perbedaan status sosial. Dalam karya Lessing, sang narrator-penulis anggap- adalah seorang perempuan kulit hitam yang merasakan tekanan dan menyadari tekanan tersebut. Sebuah kesadaran yang tidak ada pada masa nenek moyangnya, dan hal ini menimbulkan sebuah pengetahuan baru bagi mereka untuk bangkit dari tekanan-tekanan tersebut.
There are some countries in which the arts, let alone Art, cannot be said to flourish.
Orang kulit putih pada masa itu melakukan penekanan yang hebat terhadap orang-orang kulit hitam. Derajat mereka tidak pernah lebih dari seorang budak yang dapat diperlakukan sekehendak majikannya, dianggap bodoh dan tidak memiliki kebebasan untuk mengutarakan pemikirannya. Pada kutipan di atas, dianggap bahwa orang-orang kulit hitam yang mendiami suatu Negara tentunya tidak dapat membuat atau memiliki suatu keindahan atau seni. Jika pun hal tersebut terjadi, maka keindahan dan seni tersebut tidak akan pernah dapat berkembang.
Adalah salah menilai keindahan atau seni itu tidak dapat berkembang hanya karena warna kulit ataupun lokasi mereka tinggal. Orang kulit putih sering menceritakan banyak legenda tentang leluhurnya tetapi ketika orang kulit hitam melakukannya maka hal tersebut dianggap salah dan sama sekali bukan seni atau legenda.
              Were there not sunshine and mountains and fat babies and pretty babies?
Diskriminasi terhadap kaum kulit hitam semakin meluas, tidak hanya pada individunya saja tapi juga pada wilayah dimana dia tinggal. dari kutipan di atas digambarkan oleh sang narrator bahwa dia kecewa memdapat asumsi wilayahnya tidak cantik dan indah. Kaum kulit putih, pria maupun wanita, menganggap keindahan dan kecantikan tersebut hanya milik mereka karenanya mereka jauh lebih unggul.Seolah Zambesia hanyalah tanah kering dengan masyarakatnya yang serba kekurangan tanpa sedikitpun keindahan yang terpapar. Padahal matahari dan pegunungannya pun sama indahnya dengan di tempat lain atau justru lebih indah.
Michele was very carefully drawing thin yellow circles around the heads of the black girl and her child.
Bagi narrator, karakter Michele yang seorang expatriate Italia juga seorang seniman dapat melihat kecantikan yang tersembunyi diantara permasalahan ras, gender ataupun politik. Michele melihat kecantikan tersebut bukan dari penampilan kasar Zambesia tetapi jauh di kedalamannya. Bagi Michele tidak masalah bagi mastarakat kulit hitam memiliki sosok “suci” dengan warna yang sama dengan mereka, karena hal tersebut tidak akan mengurangi kemuliaan dan kesuciannya. Michele tidak ingin masalah ras merusak esensi seni yang dibuatnya.
 “You can’t have a black Madonna,”
Ketika Captain Stocker terkejut karena melihat lukisan Michele, dia melarang akan pembuatan karya tersebut tetapi sebenarnya dia harus mengakui bahwa dia terkejut sekaligus terpesona. Bagi sang kapten yang berkulit putih, tentu saja seorang sosok suci “Madonna” tidak boleh dilukiskan dengan memiliki warna kulit hitam. Dia merasakan keterkejutan yang amat sangat tidak hanya karena sosok dilukisan itu tapi juga karena sosok tersebut mengingatkan pada kekasih gelapnya yang juga berkulit hitam.

Saat melukis sosok Madonna tersebut Michele meyakini seperti yang disampaikan Bachofen dalam essaynya, “Hanya ada satu sarana terkuat di setiap peradaban, dan itu adalah agama. Setiap eksistensi manusia, timbul dari sebagian besar yang muncul dalam wilayah yang tinggi ini.”(Bachofen. Dikutip dalam Erich Fromm). Sosok Madonna yang perempuan dan berkulit hitam dimaksudkan bahwa sebenarnya tanpa adanya wanita baik berasal dari kulit berwarna atau putih, generasi baru tidak akan muncul. Sehingga ras tidak lagi menjadi masalah. Agama yang mengikat mereka sama sehingga seharusnya tidak masalah berwarna apa sosok tersebut karena yang memiliki makna adalah esensi dari sosok tersebut.
Seharusnya karena agama pula perbedaan ras dan gender dapat dihilangkan. Akan tetapi eksistensi manusia dalam kasus ini tidak dilihat melalui kaca mata agama melainkan sosial dan politik. Perempuan kulit hitam dianggap tidak pantas memiliki atau menjadi sosok mulia dan suci dikarenakan warna kulitnya.

permasalahan antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah usai jika masing-masing selalu melihat berdasarkan bentuk fisiknya atau kodratnya karena mereka memang berbeda. Ketika membaca beberapa referensi, disadari bahwa sejak dulu bahkan pada masa pemujaan terhadap dewa-dewi, sosok perempuan memegang peranan penting baru kemudian laki-laki. Misalnya saja dalam mitos-mitos Mesir, Yunani, Romawi dan dari wilayah Asia, para perempuan menjadi seorang Dewi Agung. Prinsip hidup perempuan pun berbeda dimana dia lebih mementingkan kemerdekaan, kesetaraan, kebahagiaan, cinta kasih serta pengakuan yang tanpa syarat terhadap individu lain tidak masalah kekaki atau perempuan. Sementara prinsip hidup seorang lakki-laki biasanya akan terpusat pada hukum, aturan, hirarki, kebenaran dan logika.
Sebagai kesimpulan, sebaiknya kesadaran akan bagaimana rasanya menjadi perempuan tidak hanya dirasakan oleh kaum perempuan saja tetapi juga oleh laki-laki. Hal ini juga untuk membuat masyarakat menyadari betapa masyarakat memperlakukan perempuan dengan cara yang berbeda, yang ternyata hal tersebut dibangun oleh kebudayaan dan perilaku sosial masyarakat itu sendiri.
Kedudukan perempuan di dunia lelaki tentu saja hanyalah menjadi warga kelas kedua yang suaranya tidak perlu didengar atau tidak layak didengar. Hal ini semakin diperburuk dengan munculnya isu ras, gender, dan politik sehingga semakin memperkeruh posisi perempuan, belum lagi masalah stasus mereka dimana antara perempuan kulit putih dan kulit hitam yang memiliki status kelas menengah tetap berbeda. Perempuan kulit putih yang menjadi seorang aktifis perempuan sekalipun tidak dapat merasakan pesan atau salah memaknai pesan dari perempuan kulit hitam dikarenakan isu ras, gender, politik, budaya dan tatanan sosial masyarakat.
Berbagai tekanan ini membuat perempuan-perempuan kulit hitam memiliki kesadaran dan kewaspadaan akan kondisi mereka sendiri. Mereka mulai menyuarakan pemikirannya terhadap kaum yang mengopresi mereka. Kesadaran semacam ini kemudian membuat mereka bersemangat untuk mempelajari banyak hal dan membuktikan bahwa mereka pun mampu dan berkedudukan sama sepertihanlnya manusia lain atau perempuan kulit putih.
Kemauan mereka untuk belajar membuatnya memiliki kontribusi dalam memperjuangkan hak-hak hidup mereka sendiri. Pengetahuan mereka memiliki hubungan penting antara kesadaran dan pemberdayaan kaum perempuan kulit hitam. Ras, kelas dan gender menekan perempuan kulit hitam untuk membuktikan dirinya sejajar dengan ras, kelas dan gender lainnya.
Pengetahuan yang mereka peroleh tentu saja beragam bergantung pada pengalaman, norma dan nilai hidupnya, motivasi serta emosinya sehingga tidak akan pernah ada dua individu yang memiliki perasaan atau pemikiran yang sama persis. Ikatan yang ada yang menyebabkan perempuan kulit hitam bersatu adalah keinginan untuk mengekspresikan diri mereka agar dapat bebas dan memberdayakan kaumnya.

Daftar Pustaka
Collins, Patricia Hill. Black Feminist Thought: Knowledge,Consciousness, and the Politics of Empowerment. Boston: Unwin Hyman, 1990, pp. 221-238.
Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta & Bandung. 2006.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Jalasutra. Yogyakarta & Bandung. 2006.


[1] McDowell, Deborah. New Directions for Black Feminist Criticism
[2] Collins, Patricia Hill. Black Feminist Thought in the Matrix of Domination.
[3] Collins, Patricia Hill. Black Feminist Thought in the Matrix of Domination.
[4] Idem
[5] Idem