Kamis, 30 Oktober 2014

Menulis: Sesulit memahamimu (1)

"Saya bingung mau menulis apa, Miss."
"Apa yang menjadi topik tulisan kamu?"
"Nah, itu dia,Saya juga bingung."
.............................

Percakapan di atas merupakan sebuah keseharian yang aku temui setiap kali berhadapan dengan mahasiswa yang akan menulis sebuah esai. Seringkali mereka tidak mengetahui apa yang akan mereka tulis, jika pun mereka tahu, mereka menganggapnya sebagai sebuah mahakarya sehingga harus sempurna. Sejujurnya, aku pun pernah berada dalam kondisi serupa. Sulit menuangkan gagasan di dalam kepala menjadi sebuah tulisan, ketika sudah berusaha keras akhirnya bisa. Tetapi, tulisan tersebut sangat kasar dan tidak beraturan sehingga beberapa kali justru menghapus tulisan yang menjadi hasil berpikir selama berjam-jam. Kesulitan ini tidak mungkin tidak ada solusinya terlebih lagi menulis menjadi sangat penting pada saat memosisikan diri sebagai seorang pelajar/akademisi/aktivis.

Pada dasarnya, menulis bukan hal yang sulit tetapi menjadi sulit karena gagasan yang kita miliki justru terlalu banyak sehingga tidak dapat memilah informasi mana yang akan disampaikan. Beberapa cara muncul untuk mengatasi hal tersebut, misalnya dengan membuat kerangka tulisan atau brainstorming, meski tidak semua orang melakukannya. Menulis dipicu oleh seberapa banyak seseorang membaca, sehingga semakin banyak bacaan yang dilahapnya semakin banyak pula informasi yang dimilikinya. Pilihan termudah adalah mengambil satu topik yang paling menarik atau penting untuk dikemukakan. Hanya saja dalam penulisan akademik, hal tersebut harus diikuti dengan sejumlah pembacaan literatur sehingga tulisan tersebut menjadi terarah.

Permasalahan berikutnya adalah mencari kalimat yang tepat untuk membuka tulisan tersebut. jangankan membuat kalimat, terkadang menemukan sebuah kata yang mewakili dan membuka topik saja menjadi sangat sulit. Lagi-lagi, cara menangulanginya adalah dengan banyak membaca sehingga seseorang dapat mengembangkan gaya tulisannya sendiri.

(bersambung)




Sabtu, 04 Agustus 2012

Tablet: Teks Multimodal Gadget Fenomenal


Teknologi yang berkembang semakin pesat dari waktu ke waktu mendorong terjadinya keberlimpahan teks dalam setiap penggunaannya. Kehadiran teks—gambar, ikon, animasi, suara, hyperlinks, bentuk, warna dan ukuran, dsb—dalam fitur-fitur yang muncul di berbagai aplikasi suatu teknologi pada akhirnya akan menuntut kemampuan dan pemahaman si pengguna. Kemampuan yang dibutuhkan tidak hanya dalam membaca setiap teks yang muncul bersamaan melainkan juga memahami dan mengoperasi teknologi tersebut. Hal ini tidaklah rumit bagi orang-orang yang terbiasa menggunakan teknologi dalam setiap aktifitasnya seperti mengoperasikan komputer dan perangkat multimedia, berkirim email, mendengarkan musik melalui MP3 player, mengirim pesan singkat—SMS dan/atau MMS—dengan menyisipkan ikon atau gambar tertentu, atau mengoperasikan perangkat rumah tangga. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengoperasikan semua teknologi tersebut secara bersamaan karena mereka telah menjadi ‘terintegrasi’ dengan teknologi yang digunakannya.

Jumat, 13 April 2012

Sastra Daerah: Sastra Sunda



Sastra Indonesia modern sebagai bagian dari budaya kontemporer tidak dapat sepenuhnya bisa melepaskan diri dari nilai-nilai setempat dan tradisional. Nilai-nilai setempat dan tradisional tersebut paling kentara pada karya sastra local (Mahmud, 1986: 24). Jika demikian maka sastra Sunda pun merupakan bagian penting sebagai warna lokal. Menurut Mahmud (1986) warna lokal Sunda muncul dengan jumlah besar setelah tahun 1950-an. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah sastra Sunda tersebut harus selalu berbahasa Sunda atau diperkenankan menggunakan bahasa Indonesia dengan tetap menerapkan unsur-unsur lokal kesundaan?

Kamis, 12 April 2012

Sastra Anak dan Komik: Diary of A Wimpy Kid



            Sastra anak di dunia sulit diketahui awal kemunculannya karena sejak abad ke-15 telah ada dua cerita, La Morte d’Arthur dan Robin Hood, yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak tapi justru sangat disukai anak-anak. Sementara cerita bergambar bagi anak-anak baru muncul pada abad 17 dengan adanya karya Jan Amos Komensky berjudul “Orbis Pictus”. Di Indonesia sendiri sastra anak sulit dilacak keberadaannya karena kisah yang diangkat lebih cenderung pada legenda-legenda dari tiap daerah. “Ketiadaan” novel anak di Indonesia membuat mereka memilih menjadi penikmat novel terjemahan dan komik.

Selasa, 06 Maret 2012

Genre Sastra



Kirszner dan Mandell (1997) mengurutkan bahwa genre merujuk pada bentuk narrative yang kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu oral dan written. Pada oral, mereka membaginya lagi pada pre-historic oral tradition yang masuk di dalamnya adalah epic seperti Illiad dan Odyssey karya Homer, Epic of Gilgamesh sebuah epic kuno dari Babylonia, Bhagavad Gita  mau pun Beowulf. Folktales dan fairy tales berada pada tahap oral tradition yang tidak memiliki keterangan waktu atau tempat karena selalu diawali dengan “Once upon a time” (1997: 38-39) misalnya fable dan parable.