Sastra
anak di dunia sulit diketahui awal kemunculannya karena sejak abad ke-15 telah
ada dua cerita, La Morte d’Arthur dan Robin Hood, yang tidak diperuntukkan bagi
anak-anak tapi justru sangat disukai anak-anak. Sementara cerita bergambar bagi
anak-anak baru muncul pada abad 17 dengan adanya karya Jan Amos Komensky
berjudul “Orbis Pictus”. Di Indonesia sendiri sastra anak sulit dilacak
keberadaannya karena kisah yang diangkat lebih cenderung pada legenda-legenda
dari tiap daerah. “Ketiadaan” novel anak di Indonesia membuat mereka memilih
menjadi penikmat novel terjemahan dan komik.
Dunia
anak bukan dunia yang statis karena mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari
aturan yang mengikat mereka dengan berkhayal sehingga mereka lebih memiliki
keberanian dalam kepolosannya. Mereka dapat belajar dari dan melalui karakter
dalam cerita. Terlebih lagi jika dalam pemaparan cerita tersebut terdapat
ilustrasi dari peristiwa tertentu yang terjadi. Menurut Wahidin[1]
(2009) berdasarkan kehadiran tokoh utama dalam sastra anak, maka terdapat tiga
bagian yang dapat membedakannya yaitu tokoh utama adalah benda mati, makhluk
lain selaun manusia, dan manusia itu sendiri.
Novel
“Diary of A Wimpy Kid” merupakan sebuah novel yang tidak hanya diperuntukan
bagi anak-anak tetapi juga dibuat oleh seorang anak laki-laki dakam bentuk
catatan harian. Dalam novel tersebut, yang sebenarnya adalah catatan harian seorang
tokoh bernama Gregory Heffley seorang bocah berusia lebih kurang sebelas tahun.
Novel ini terbit pertama kali tahun 2007 dan segera diikuti oleh sekuelnya
hingga kini terdapat tujuh seri. Hal
yang menarik dalam novel ini adalah jenis ilustrasinya yang menyamai komik.
Dengan demikian membaca novel ini sekaligus membaca komik.
Novel
ini memuat banyak ilustrasi dari setiap kejadian yang dianggap penting oleh
sang tokoh utama. Menurut Petersen graphic
narratives express ideas by transforming them into a story where the actions of
characters become a way of describing experiences and sensations beyond one’s
own lived experience (1961: xvi). Bentuk komik tentunya sangat diminati
anak-anak karena mereka cenderung lebih memahami secara visual. Dengan demikian
penggabungan antara bentuk prosa dan komik menjadi menarik pun karena Kinley
menuliskan setiap peristiwa yang terjadi dari sisi kanak-kanak. Hal tersebut
tentunya membuat para pembaca anak-anak merasakan kesamaan dalam dunia mereka
serta tidak menggurui mereka dalam berbagai hal.
Dalam
membaca novel berilustrasi semacam ini, seseorang dapat secara langsung
mengetahui atau memperkirakan kisah yang terjadi hanya dengan melihar pada
bagian ilustrasinya saja. Terlebih lagi bagi para pembaca yang mengandalkan
kemampuan visual, perhatian mereka akan secara spontan melihat bagian-bagian
yang mencolok berupa gambar, huruf yang berbeda ukuran mau pun berbeda warna. Seseorang
dapat tertawa atau terkesan hanya dengan melihat ilustrasinya saja tanpa harus
membaca pemaparan ceritanya.
“Diary of A Wimpy Kid” kemudian
menjadi bestseller di Indonesia sehingga diterbitkan berkali-kali dan menjadi
salah satu pilihan bagi para pembaca anak-anak. Sayangnya novel berseri
tersebut tidak dapat sepenuhnya dinikmati oleh sebagian pembaca, terutama
pembaca dewasa. Hal tersebut disebabkan hilangnya esensi humor dalam narasi, baik
pada prosa mau pun ilustrasinya, sebagai akibat dari penterjemahan ke dalam
bahasa Indonesia. Akan tetapi, secara keseluruhan diterjemahkan atau tidak,
karya ini patut diapresiasi karena telah memperkaya pilihan buku untuk dibaca
anak-anak Indonesia.
Referensi
Kinney, Jeff. 2007. Diary of A Wimpy Kid. New York:
Amulet Books.
Petersen, Robert. 1961. Comics, manga and graphic
novels. California: Praeger.
Film nya juga bagus..
BalasHapus