Senin, 09 Februari 2009

Rasisme dan Perbudakan sebagai Isu Moral pada Pidato Abraham Lincoln


Moral dan etika muncul dalam aspek kehidupan sehari-hari seseorang, tidak masalah apa status dan gendernya kedua hal tersebut seolah mengikatnya, sehingga apabila melewati batas yang dibuat oleh etika maka dia dianggap tidak bermoral. Moral selalu dilihat berdasarkan pelaku dan perbuatannya, apapun penyebab dibaliknya tidak terlalu dihiraukan. Pengajaran moral selalu ada dalam setiap kebudayaan dan belumlah beradab jika tidak berperilaku sesuai etika atau moral yang telah ditentukan oleh masyarakat. Maka oleh karenanya adalah lebih baik kita mengetahui apa yang dimaksud dengan moral dan etika tersebut. Moral adalah suatu keyakinan atas apa yang salah dan benar, sementara etika merupakan sebuah prinsip yang berasal dari kata ethos yaitu karakter atau kebiasaan.

Rasisme adalah permasalahan moral yang paling controversial di Amerika sejak dulu. Perbudakan merupakan satu hal yang tidak bisa diabaikan menjadi factor pendorong kkemajuan Amerika untuk menjadi satu Negara besar. Karena perbukan pula, bangsa Amerika dapat menyadari adanya permasalahan moral yang luar biasa. Masalah ini diungkit oleh  Presiden Abraham Lincoln setelah terjadinya perang saudara.
Pada kenyataannya Lincoln tewas dibunuh oleh seorang kulit putih ketika masih menjabat sebagai seorang presiden Amerika Serikat ke-16, saat ini pun masalah rasisme masih terjadi di berbagai belahan Negara Amerika Serikat meskipun tidak seburuk yang terjadi pada masa-masa Lincoln dan setelahnya. Penulis merasa tertarik untuk melihat pidato pengangkatan Lincoln sebagai sebuah “lip service” terhadap pemilihnya ataukah benar adanya berasal dari hati nuraninya yang tidak menghendaki perbudakan demi kesetaraan derajat.

Manusia (man) dibekali akal (mind) sehingga dia dapat belajar banyak hal dari lingkungan sekitarnya dan menjadikannya menguntungkan bagi dirinya. Namun, lingkungan tempatnya tinggal memiliki aturan yaitu moral dan etika sehingga perilakunya dikontrol oleh kedua hal tersebut. 
Morality is a kind of policy or instrument: the moral agent is a centre of practical reason for whom morality is a means to a further end and whom altruism stands in need of an external (empirically describable) pay-off. [1]
The moral attitudes of blame and disapproval are neither merely feelings nor utilitarian strategies, but are deeply and essentially involved in the way we conceive of human action.[2]
…the image in contemplation is neither pleasurable nor painful; and it does not attract to itself either moral approval or disapproval.[3]

Perang saudara yang digenjarkan sebelum Lincoln diangkat menjadi presiden dan memberikan pidato pertamanya membuat penulis menjadi ingin tahu apakah peperangan tersebut memang terjadi karena adanya kesadaran untuk mengakhiri perbudakan atau hal-hal politis antara Partai Republik dan Demokrat.
Apprehension seems to exist among people of the Southern states that by the accession of a Republican administration their property and their peace and personal security are to be endangered.[4]
Diketahui sebelumnya bahwa dari Partai Republik-lah karir politik Lincoln mulai menanjak ketika menyampaikan pidato di Peoria dan mengangkat masalah perbudakan. Setidaknya dari yang penulis ketahui, Lincoln berhasil menjadi tokoh nasional dari partainya meskipun dia mengalami kekalahan ketika harus berhadapan dengan Stephen Douglas dari partai Demokrat.
Political theory is a dangerous sort of thinking: it is neither a science which tries to understand, predict and control the workings of nature, nor a pure philosophy which tries to define the character of thinking and of reality itself.[5]
Melihat dari sisi politik selalu memiliki dua sisi, dimana masing-masing sisi seolah berjuang untuk orang lain. Hal ini memunculkan perselisihan yang berujung pada peperangan dan kematian karena semuanya merasa paling benar. Mengatas namakan liberalism, nasionalisme, demokrasi, sosialis ataupun komunis membuat peperangan semakin buruk. Politik tidak hanya mempengaruhi bentuk pemerintahan saja tetapi juga kehidupan pribadi seseorang, dan hal ini bisa menjadi pemicu perang saudara.
Rasa kecintaan terhadap sesama dan bangsa membuat seseorang rela berkorban harta, waktu dan jiwanya. Lincoln pun mengalami hal yang sama pada saat menyampaikan pidatonya. Adanya perasaan senasib sepenanggungan membuat Lincoln maju untuk membela kaumnya dengan menghapuskan perbudakan di Amerika Serikat tetapi penulis melihatnya memiliki dualism pemikiran.
“I have no purpose, directly or indirectly, to interfere with the institution of slavery in the states where it exists….”[6]
Disebabkan oleh dualisme inilah penulis menganggap Lincoln memiliki tujuan atau dorongan yang samar, apakah dia murni terdorong oleh moralitasnya ataukah sebagai negarawan yang akan memperoleh dukungan jika mengangkat isu moral.
Dualisme ini pun tidak menguntungkan Lincoln dari segi ekonomi. Negara-negara bagian Selatan dan Utara memiliki pergerakan ekonomi yang berbeda, dimana Negara-negara bagian Selatan memproduksi tembakau, beras dan gula dengan harga murah, begitu juga pada produksi kapas. Sementara di bagian Utara, meskipun mereka merendahkan sistem perbudakan, mereka tetap ingin harga-harga produksi tetap rendah. Hal ini yang lalu menimnulkan kegoncangan ekonomi dengan adanya kampanye dan kritik untuk mengakhiri perbudakan. Lincoln menyadari ini dan menyinggungnya dalam pidatonya si dewan senat sebagai wakil dari partai Republik di Illinois.
This government cannot endure permanently half slave and half free.”[7]
Dengan menyampaikan pernyataan semacam ini, Lincoln ingin menunjukkan niat baiknya kepada seluruh konstituennya. Pidato di depan Senat ini sepertinya merupakan titik awal bagi Lincoln mengangkat isu rasisme dan moral. Lincoln berpikir bahwa satu bangsa tidak akan maju apabila warga negaranya hana sebagian saja yang merasakan kebebasan. Penulis merasa langkah ini tetap politis karena politisi-politisi lain menginginkan keseimbangan jumlah antara yang merdeka dan yang budak. Meskipun demikian, Lincoln membuat peperangan tidak lagi terhindarkan.  Bagaimanapun, Lincoln tetaplah seorang tokoh besar yang memimpin dengan penuh moral dan etika berdasarkan rasa cinta dan keadilan yang dimilikinya. Lincoln bukan mengharapkan musnahnya perbudakan tetapi berharap memiliki satu Negara utuh yang bersatu.
Tugas utama Lincoln adalah menjalankan dan menjaga kestabilan persatuan antara Utara dan Selatan khususnya. Berdasarkan sejarah pun, pada kenyataannya, Lincoln lebih peduli pada nasib warga kulit hitam dan caranya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membuat Proklamasi Emansipasi. Dia membagi dua kubu untuk mengawasi pelaksanaan kosnstitusional tersebut, mayoritas dan minoritas.
…and we divide them into majorities and minorities. If minority will not acquiesce, the majority must, or the government acquiescence on one side or the other. [8]
Penulis menganggap dengan adanya pembagian ini, setidaknya Lincoln menginginkan kesetaraan posisi dan ras antara hitam dan putih menjadi mungkin, sebab dia memberikan kulit hitam untuk membuat sebuah persetujuan. Atau mungkin jika tidak membuat sejajar Lincoln berusaha menengahinya.

Alasan-alasan yang digunakan seseorang untuk memperjuangkan hak-hak hidup orang lain tentunya didorong oleh kejujuran dan kasih sayang yang lalu  tercipta dalam sebuah moralitas. Manusia tercipta dengan segala kekayaan dan kerumitannya, Tuhan memberikannya satu bagian yang membedakannya dengan makhlukNya yang lain. Satu bekal yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui sesuatu saja tetapi juga untuk memperbaiki kualitas akal. Yaitu akal yang kemudian menjadi hasil pikir, moral.
Etika dan moral adalah buah kebaikan dari sebuah nilai. Nilai kehidupan yang didalamnya terdapat kehidupan, cinta, kebenaran, keadilan, kebebasan, kreatifitas dan lainnya. Ras tidak mampu menunjukkan siapa yang lebih baik, unggul ataupun paling bijak. Semuanya hanyalah ego manusia untuk merasakan lebih dari segalanya.
Moral dan etika dibuat untuk membentengi hal-hal yang kelak akan merugikan orang lain di masa depan. Kedua hal tersebut ada tidak tanpa kesalahan, karena keduanya adalah hasil pemikiran manusia yang berusaha menjadi lebih baik. Kecerobohan, kebodohan, ketumpulan akal manusia tidak menghalanginya untuk selalu berbuat lebih, kesalahan yang pernah dilakukannya akan membuat seseorang tersebut memiliki nilai, moral dan etika tersendiri.

Daftar Pustaka
Crossman, R. H. S. Government and the Governed. London. 1958
Palmer, Frank. Literature and Moral Understanding: A Philosophical Essay on Ethics, Aesthetic, Education and Culture. Oxford. 1992
Plamenatz, James. Man and Society. New York. 1992


[1] Palmer, Frank. Literature and Moral Understanding. 1992.hal.60
[2] Ibid. hal 79
[3] Oakeshott, Michael. The Voice of Poetry in the Conversation of Mankind.
[4] Abraham Lincoln First Inaugural Addresses
[5] Crossman, R. H. S. Government and the Governed. London. 1958.Hal 1.

[6] Abraham Lincoln First Inaugural Addresses
[7] Ibid
[8] Ibid

Sabtu, 07 Februari 2009

CRAFIAN


"there were three in the meadow by the cook,
Gathering up windrows, piling cocks of hay,
With an eye always lifted toward the west
Where an irregular sun-bordered cloud.
Darkly advanced with perpetual dagger
Flickering across its bossom. Suddenly
One helper, thrusting pitchfork in the ground,
Marched himself off the field and home. One stayed.
The town-bred farmer failed to understand. “
(The Code,Robert Frost)

Berjalan di antara rumput ilalang yang semakin lama terasa tinggi, menjulang menggapai angkasa. Sinaran mentari yang masih sanggup menelusup tingginya ilalang menyentuh kulit jemariku lembut. Sentuhan yang membuatku tetap tersadar bahwa aku masih hidup. Beberapa jam yang lalu aku terkurung di salah satu gudang tua. Gudang yang penuh tumpukan jerami. Tidak ada celah sedikit pun untuk sinar mentari mengintip ke dalam. Apa yang ku lakukan di sana bahkan aku sendiri tidak tahu. Hanya saja kepalaku terasa sangat pusing dan seluruh tubuhku sangat sakit. Untunglah aku masih ingat siapa diriku. Aku ingat namaku yang terkesan asing buatku sendiri, “Alfredo Neva” bisikku dalam hati. Entah mengapa kedua orangtuaku menamaiku itu sedang mereka bukan keturunan Portugis atau Latin.
Saat aku coba bangkit bagian tubuhku yang lain-dada, perut dan punggung-terasa seperti terbakar. Kakiku seperti kaku dan wajahku seperti baru saja dihantam benda terkeras di muka bumi. Pahaku terlihat memar-memar padahal seingatku tidak terjatuh sebelumnya. Tiba-tiba tubuhku menggigil hebat saat melihat pakaianku koyak dan tergeletak di pojokan gudang.
“Alfredo…sadar!” perintahku sendiri agar seluruh pikiranku kembali menyatu. Lalu lututku gemetar saat mencoba berdiri. “bodoh kau Alfredo! Ayo bangun!” lagi-lagi makianku. Oh Tuhan aku sama sekali tidak mengingat apa yang telah terjadi pada diriku. Akhirnya pakaianku yang koyak itu kuraih malas dan segera memakainya meski sebenarnya tak mampu menutupi tubuhku sepenuhnya. Celana panjang putihku kini penuh dengan debu. “Tuhan ada apa denganku?”
Pintu gudang tiba-tiba terbuka perlahan dan muncul tiga bayangan yang belum ku lihat dengan jelas karena silau cahaya dari luar gudang. Mereka perlahan masuk sambil membawa pakaian bersih seukuran dengan tubuhku. Pria yang satu melemparkan pakaian itu ke wajahku.
 “Pakai dan cepatlah!” kata pria itu. Dua kawannya menatapku lekat-lekat seolah pandangan matanya tidak hanya akan mengoyak pakaian baruku tapi juga mencabik-cabik tubuhku layaknya seekor pemangsa buas.

“Siapa mereka?” bisikku.
“Ayolah Aldo jangan diam saja cepat pakai baju itu!” bentak salah satu dari mereka.
“Kau memanggilku apa?” tanyaku pada pria yang masih saja menatapku itu.
“Bukankah mereka memanggilmu Aldo, Alfredo Neva?” ujarnya lagi.  Bibirnya tersenyum tapi bukan senyum yg tulus sebab sekujur tubuhku merinding. Aku lemas dan terhuyung karena bingung atas apa yang terjadi dan mengapa orang yang tak kukenal memanggil nama kecilku.
“Siapa kalian? Mengapa aku ada disini dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini?” tanyaku bertubi-tubi tapi jawaban mereka hanya suara tawa yang membuat kepalaku terasa bertambah berat.
“kau pasti ingat dan tahu siapa kami tapi untuk saat ini lebih baik kamu tidak tahu. Ha ha ha ha.” Suara tawanya menggelegar memenuhi ruangan pengap itu. Tawanya diikuti oleh tawa kedua orang lainnya. Sekarang suara tawanya memekakkan telingaku yang masih sakit.
“Ayolah cepat, kami akan mengantarmu pulang.” Pria itu memerintahkan sambil menjentik-jentikkan ibu jarinya. Aku hanya bisa mengangguk dan cepat-cepat mengancingkan kemeja dengan perasaan kalang kabut.

Di luar gudang dapat kudengar suara gemuruh mesin semai gandum. Setelah selesai aku menghampiri mereka dan berusaha mengenali tiga wajah di depanku. Salah satu dari mereka menarikku ke sisinya dan mengangkat daguku agar tengadah. Pria yang melemparkan pakaian itu menggendongku agar duduk di bagian tengah lalu kami pun pergi. Tanpa berkata sedikitpun aku mengikuti mereka hingga menaiki sebuah mobil pick up tua yang warna catnya telah berubah dan mengelupas, mobil jelek sepertinya bukan milik salah satu dari mereka, sebab mereka menggerutu selama perjalanan tentang betapa menyebalkannya mobil tua
*****
Gerimis di sore ini menemaniku menerawang, melepas angan jauh ke angkasa.  Sekarang, meski sudah dua puluh  tahun berlalu aku masih saja dihantui masa laluku. Café tempatku menunggu sekarang masih tampak sepi dan kesunyian membuatku sangat nyaman. Aku tak keberatan untuk terus duduk sendirian sambil memandangi titik-titik hujan berjatuhan.
“Maaf tuan, apa Anda akan memesan sekarang?”seorang pelayan bertanya dengan sopan. Aku tidak segera menjawab malahan aku menatapnya cukup lama dan sadar saat dia bergumam. Pelayan itu sangat cantik, oh tidak hanya itu dia juga tampak pintar.
“Tidak terimakasih aku masih menunggu seseorang” jawabku sambil masih menatapnya, dia hanya membalas dengan anggukan kecil dan seulas senyum.
Aldo, I’m terribly sorry for made you waiting.” Akhirnya yang kutunggu datang juga.
No, it’s fine.” Jawabku.
Kami hanya bertatapan sesaat setelah kami duduk lalu tak satupun kata yang keluar sampai akhirnya dia memutuskan memulai pembicaraan.
It’s about your past…I still can’t understand. Are you avoiding me or what?”
I know it’s hard for you to understand but I’m sorry I can’t tell you ‘bout that,
Is that so hard or you are the one making that a hard thing to say?
Let’s talk others.”
It’s just…well, ok then as you wish
Aku dapat melihat Greg begitu kecewa. Namanya Gregory McDougal, namun aku sering memanggilnya Greg. Dia adalah seorang duke hanya saja dia membenci gelar aristokratnya, benci dengan segala tata krama dan norma-norma hidup seorang aristokrat. “The urban man is an uprooted tree, he can put out leaves, flowers and grow fruit but what a nostalgia his leaf, flower, and fruit will always have for mother earth.” Dia mengutipnya dari Juan Ramón Jiménez. Bagiku dia seorang sahabat yang baik, mungkin terlalu baik karena aku hampir tidak pernah dapat menolak keinginannya. Tetapi jika menyangkut rasa penasarannya atas peristiwa masa laluku, aku tak pernah mengizinkannya masuk terlalu jauh. Mungkin aku takut akan kehilangan jika dia mengetahui masa laluku. Kami membicarakan banyak hal dan akhirnya memutuskan untuk bertemu lagi lain waktu di tempat yang sama.
Hari itu aku tidak membawa chevy tua Pop andai saja Greg tidak menawariku pulang berjalan kaki bersama, mungkin saat ini aku tengah terjebak kemacetan. Setelah mengucapkan terimakasih aku pun mengetuk pintu flat kecil tempatku tinggal–sebenarnya  tempat aku dan Pop tinggal. Terdengar suara gerendel di belakang pintu dan seorang pria tua membukakan pintu. Tidak ada ekspresi apapun dari kami meski sebenarnya kami adalah ayah dan anak atau mungkin kami bukan ayah dan anak. Entahlah. Aku masuk tanpa bersuara atau menyapa Pop. Tangga kayu yang kunaiki seolah semakin curam dan begitu melelahkan sehingga sampai ke kamar tidurku, aku langsung meringkuk tanpa melepas apa yang ku pakai saat itu. Suara gemerisik di luar dan di atap kamarku seolah menemaniku melepas kepenatan. Perlahan suara-suara itu mulai sayu dan membuaiku. Mataku terasa sangat berat tetapi pikiranku masih berlarian dan pergi menjelajahi lintasan cakrawala.
*****
Seorang pria berkemeja army membuka pakaiannya satu per satu sambil tersenyum bak seorang model amatiran memamerkan giginya yang putih bersih dan tengah memperagakan pakaian koleksi terbaru dari perancang kenamaan, temannya memberikan sorakan penyemangat dengan bahasa yang aku tidak mengerti. Dengan gembira kawannya yang  lain terkekeh melihat tingkah kedua kawannya.
Di hadapan mereka terkulai seorang anak dalam kondisi tanpa busana. Udara yang dingin sepertinya tidak membuat anak itu terbangun atau menggigil. Mereka menatapnya dan anak laki-laki kecil itu tampaknya tidak tahu dia terkurung bersama orang-orang asing. Mata mereka ibarat tatapan seekor elang yang telah mengunci mangsanya dari kejauhan dan tak akan melepaskannya apapun yang terjadi.
Aku seolah berdiri di samping mereka tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku mungkin terlalu ngeri untuk membantu anak itu atau aku memang tidak mau membantunya. Sesaat aku mencoba meraih selimut yang tersembul di balik tumpukan jerami tetapi ternyata…aku tidak bisa mengambilnya karena tanganku malah menembusnya. Tersentak, aku malah membuat diriku sendiri terjatuh. Ujung jariku–mungkin–menyentuh ujung jari anak itu. Agaknya jeritanku tidak akan pernah membuatnya siuman.
Sontak saja jantungku seolah berhenti berdegup dan paru-paruku seolah berhenti memompakan udara ketika mengenali wajah mungil anak itu. Anak laki-laki itu…AKU.
“Arghhhhhh, lagi-lagi mimpi itu. Aku harus berhenti mengingat masa laluku.” Teriakanku seolah menggema di seluruh penjuru ruangan. Mimpi itu sangat nyata karena aku seperti merasakan apa yang para bajingan itu lakukan. Bangkit dari ranjangku sendiri kurasakan seperti baru saja bangkit dari tidur panjang dan melelahkan, apalagi mimpi buruk terus datang.
Ketukan lembut terdengar dari luar pintu kamarku dan suara parau mengiringi setiap ketukannya.
“Kau sudah bangun nak? Ayah ingin bicara denganmu sebentar saja.” Aku hafal suara Pop yang kadang sudah terdengar sangat tua dari usianya sekarang. “Ok, aku keluar sebentar lagi. Pop tunggu saja di ruang depan sementara aku turun membuatkan sarapan.” Jawabku. Ku dengar dia hanya menghela nafas.
Semangkuk asparagus crème soup dan sepiring roti panggang aku simpan di hadapannya, dia mengangguk. Apapun yang akan Pop sampaikan aku tidak sepenuhnya peduli tetapi aku harus tahu apa yang mengusiknya beberapa waktu ini. Siapa yang harus memulai pembicaraan ini aku tidak tahu sebab kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Ayah menatapku sebentar lalu tertunduk menyuapkan sendok terakhir supnya. Jika semua orang sangat antusias dengan ritual makan pagi bersama keluarga, aku tidak pernah merasakan hal semacam itu.
“Baiklah. Aku ingin bicarakan satu hal, sejak lama ku simpan sendiri. Seharusnya aku jujur padamu sejak dulu tapi aku takut kau akan membenci  aku.” Suaranya semakin berat dan nafasnya tersengal, tetapi sepertinya dia berusaha menyampaikan sesuatu.
“Aku tahu belakangan kau sering mimpi buruk dan kau mulai terganggu dengannya, jadi mungkin ini saat yang tepat untuk ayah bicara. “ Selama ini aku tidak pernah melihat dia begitu ringkih, mungkin itu yang membuatku tetap diam saat dia berbicara.
“Tentang mimpimu…sebenarnya aku, ibu dan pamanmu tidak ada untukmu meski mengetahui peristiwa itu…aku tersiksa mengetahui kau sendirian di rumah.” Entah apa yang terjadi dengan ayah sebab tiba-tiba dia terdiam cukup lama dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku mendengarmu pergi bersama tiga pria kota ke suatu tempat dalam keadaan tak sadarkan diri. Orang-orang di peternakan bilang ketiganya datang mencariku tapi mereka hanya mendapatimu asyik bermain dengan sepotong mainan kuda kayu. Mereka tidak tahu jelas apa yang terjadi.”
Aku mulai menarik nafas sambil menatap kedua matanya lekat-lekat, hanya ada sebuah kejujuran dan penyesalan disana. Aku semakin terdiam dan kehilangan kekuatan untuk beranjak dari kursi. Anggukanku dimaknai Pop sebagai isyarat baginya untuk melanjutkan perkataannya.
“Archie melihatmu meminum sesuatu dari ketiga orang itu. Dia sempat mengikuti kalian tapi dengan begitu cepat juga kehilangan kalian. Keesokan harinya mereka datang ke rumah kita dan mengatakan putraku satu-satunya sekarang telah menjadi seorang yang tak lagi pantas hidup”
Dunia seolah tiba-tiba membeku dan waktu berhenti tanpa ada aba-aba. Mataku mulai panas dan kepala ini pun seolah dibenturkan pada dinding beton berulang kali. Sesaat kemudian Pop bangkit dari duduknya dan menepuk pundakku beberapa kali. Tepukannya yang pasti penuh kelembutan kurasakan seperti cambuk yang terus menghantam tubuhku tanpa ampun.  Luka dalam jiwaku apakah mungkin akan kutemukan cara untuk mengobatinya?
“Maafkan aku.” Bisiknya. Sepertinya ia ingin meyakinkan bahwa anaknya baik-baik saja, sedangkan aku tak mampu bergerak sedikitpun, pikiranku terlalu sarat untuk sekedar memerintahkan agar tubuh ini bangkit. Aku tak kuasa menahan arus ingatanku sehingga tak sadar kutepis tangan Pop dan membanting pintu. Melarikan diri dari kenyataan, meninggalkan pria tua malang itu sendirian dengan perasaan bersalah. Larilah Aldo…semuanya telah berakhir, kau hanya manusia tidak berguna. Ayo larilah! pikirku sendiri ternyata menyerangku.
Udara pagi merasuk ke dalam tubuhku namun tidak dapat membuatku segar. Pikiranku masih melayang jauh mencoba membuang semua kilasan peristiwa dua puluh tahun lalu. Aku tidak percaya keluargaku sendiri menutupi bahwa mereka mengetahui semua yang terjadi hingga selama ini. Hidupku selama ini selalu dibayangi oleh kisah yang membuatku bingung dan ternyata ayahku sendiri memiliki jawaban untuk semua pertanyaan dalam benakku.
Aku memilih untuk tidak pulang kemarin dan menginap di sebuah kabin milik Greg. Letaknya cukup terpencil. Sebuah kabin tempat kami selalu bersembunyi jika begitu banyak rutinitas yang mengejar dan mengekang. Udara dan pemandangannya yang penuh dengan kehijauan dan kesegaran pegunungan membuatku merasa agak baikan. Pikiranku melayang. Bagaimana keadaan Pop sekarang? Selama ini hanya aku yang dia miliki setelah ibu dan paman Archie meninggal. Kuambil telepon genggamku dan mencoba menghubungi Pop, tetapi hanya dijawab oleh mesin penjawab.
Kebingungan karena tidak bisa mengetahui keadaannya sekarang, aku memutuskan untuk menekan sebuah nomor lain dalam phonebook.
.....................................................
Good morning. McDougal’s resident. May I help you?
Greg, please. I need to speak Gregory McDougal,”
May I know who’s speaking, Sir?
I’m Alfredo Neva. Please tell him it’s very important.”
Alright Sir, hold for a moment.”
……………………………………………………..
Hi, I thought you’ll never contact me again,” suara di ujung sana entah bagaimana membuat tenang
Sorry, can I see you? I need you very much,”
What’s happenin? I’ll come to your place immediately,”
No…I’m at your cabin. Come here please!
I’ll be there in fifteen minutes.
Kuletakkan gagang telepon dan berbaring di sebuah sofa antik nan mewah berlapiskan velvet merah. Kutelusuri setiap detil ukiran pada pegangan sofa dengan ujung jemari. Waktu terasa sangat lambat dan udara yang kuhirup terasa menyesakkan. Lima menit berlalu, sepuluh menit, lima belas menit tetapi Greg belum juga muncul. Dua puluh menit. Satu detik…dua detik…tiga detik…lalu aku mendengar suara mesin ferari berhenti menderu di depan kabin.
Semua laki-laki pasti menginginkan apa yang dimiliki Gregory, hartanya yang berlimpah, kebangsawanannya, relasinya yang tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan dunia. Kendaraan atau apapun yang selalu didapat tanpa susah-susah menyisihkan uang dan pekerjaan yang tidak melelahkan tetapi menghasilkan banyak poundsterling.
Greg dengan mantel mahalnya menghambur ke dalam ruangan dan menemukanku terkulai di sofa. Aku membuka kedua lenganku. Greg segera menghampiriku dan membiarkanku menangis di pundaknya. Dapat kurasakan belaian lembut tangannya menyentuh kepalaku. Banyak orang merasa ganjil dengan persahabatan kami, mereka seolah yakin bahwa kami adalah sepasang kekasih. Begitu banyak wanita yang mengharapkan Greg tidak membuat opini itu hilang. Hanya saja sebuah kenyamanan yang tidak pernah aku dapati dari seorang ayah sekalipun dapat kurasakan selain darinya.
Tell me what’s going on? It’s ok, now I’m here,”
You wanna know my past, don’t you?” ucapku terputus karena isakan kecil yang memburu dari mulutku berlari tanpa kekangan. “Now listen to me carefully,”
No, don’t. If that makes you uncomfortable I don’t wanna!” suaranya bergetar penuh karisma seorang bangsawan mulia.
But you have to know. I want you to know. Please listen!” paksaku padanya dengan menatap matanya lekat-lekat. Aku tahu dia berusaha menenangkanku, dia pun tersenyum, sungguh sebuah senyum yang sangat indah. Senyumannya berhasil mengumpulkan keberanianku.
I’ve been molested when I was a six years old boy. You know what, not only by one man but three at the same time. That’s my real past. I think that’s a real good reason I never go out with any gal. I feel disgusting with my ownself.”
Kurasakan tubuh Greg terhenyak dan otot-otot lengannya mengendur. Apakah dia jijik dan membenciku sekarang? Aku ketakutan dengan reaksinya, tetapi tidak terkejut sebab aku juga malu dan jijik dengan diriku sendiri. Hanya beberapa detik saja aku merasakan kekakuannya lalu Greg memelukku tanpa bicara. Pelukannya semakin erat dan semakin erat setiap kali aku menarik nafas. Tiba-tiba kegalauan yang kurasakan berubah jadi sebuah perasaan yang kabur.
Greg menggengam tanganku dan mencium keningku perlahan. Mengatakan bahwa dia sangat prihatin dengan apa yang telah terjadi saja sudah cukup buatku. Aku merasa diperlakukan sangat baik dan itu membuatku lebih tenang. Pikiranku menolak apa yang tengah terjadi tetapi sepertinya ada setan yang merasukiku sebab tubuhku tidak mau bergerak.
 Alfredo, bangun!” Nalarku mulai berusaha menyadarkanku. Greg terperanjat dan tiba-tiba menangis. Seorang duke muda, tampan, terpelajar, serta terhormat menangis di hadapanku. Aku bingung, baru saja dia tampak seperti makhluk terindah kini bagai burung yang kehilangan kedua sayapnya. Aku malah berbalik iba padanya sekaligus bingung dengan apa yang harus aku perbuat.
I’m a gay, Aldo. I’m not perfect and noble as you thought.” Perkataannya menggema di pikiranku. Sahabat terbaikku seorang gay…ini gila, aku pernah diperkosa dan dia seorang gay.
You hate me now, don’t you? I’m very sorry for this, forget it.” Mungkin aku tidak tega atau aku memang menyukainya sebab aku malah menariknya untuk mendekat.
Don’t leave me. I don’t mind if you are a gay. What’s wrong with that? I’ve been raped, remember?” bisikku saat wajahnya kubuat tepat di hadapanku.
I think I like you.”katanya nyaris tak terdengar.
I know since long times ago but I’m not sure. It’s ok.” Balasku.
*****

Undangan beludru merah bertintakan warna emas kini ada dalam genggamanku, kurasakan sangat lembut. Aku dan Greg tidak lagi bertemu ataupun bicara sejak kejadian di kabin tujuh bulan lalu. Aku penasaran siapa yang mengirimiku undangan yang sangat istimewa. Aku berkhayal ingin menikah suatu saat nanti dengan seorang gadis sederhana dan mengejutkannya dengan membuat sebuah pesta yang istimewa.
“We are inviting you on our beloved childrens’ wedding,”
“Duke Gregory McDougal & Duchess Catherine Wells”
“Saturday night, December 20th 2000.
“Kamf BornHofen”
Tetes airmataku jatuh ke atas undangan mewah itu. Pantas undangan itu begitu indah, elegan dan istimewa rupanya seorang bangsawan menikah satu bulan yang akan datang. Greg-ku akan benar-benar meninggalkanku.
Uang simpananku mungkin tidak bersisa banyak tetapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk sahabatku Greg. Sepasang Tuxedo saja menguras setengah isi tabunganku. Buatan Armani dan sangat pas di tubuhku.
Usai berbelanja tuxedo, aku menyengajakan diri berjalan ke komplek toko-toko antik. Siapa tahu aku menemukan hadiah yang tepat untuk Greg. Ku perhatikan baik-baik setiap barang yang terpajang di balik etalase. Aku ingin sesuatu yang istimewa dan elegan sebagai hadiah, tetapi harganya pun masih dapat kujangkau. Aha! Ku lihat sebuah hiasan kancing lengan dan kerah berkilauan diantara deretan barang-barang tua.
Aku masuk dan mengambilnya. Ketika aku hendak menuju kasir, kulihat sebuah ferari hitam berhenti tepat di depan toko tempatku berdiri sekarang. Seorang bangsawan muda dan berpenampilan rapi menutup pintu mobil. Langkahnya mengarah ke toko ini. Itu Greg! Teriakku dalam hati.
“Selamat sore Tuan Gregory. Apa yang bisa kami bantu?”
“Aku mencari satu set hiasan kancing dan kerah yang waktu itu aku serahkan padamu. Kau masih memilikinya?”
Entah apa sebabnya aku tidak mau muncul di hadapannya, meski sesungguhnya aku sangat merindukannya. Saat aku mendengar suara langkah kaki pria penjaga toko menuju tempatku berdiri, aku bersembunyi dibalik pakaian zirah tua.
“Aneh. Aku masih memilikinya sampai kemarin sore.”
“Bisakah kau cari tahu siapa yang membelinya? Aku benar-benar membutuhkannya.”
“Tuan, andai aku tahu. Aku baru saja datang, sejak pagi tadi, anakku Merrin yang menjaga toko.”
“Aku bisa bertemu dengannya? Tolonglah Tuan Olsen.” Nada bicaranya memperlihatkan bahwa dia tengah gusar akan sesuatu.
Aku dibuat penasaran setengah mati, kenapa Greg begitu menginginkan hiasan ini. Apakah aku harus menyerahkannya, toh aku akan memberikannya pada Greg. Aku tidak lagi dapat mendengar percakapan mereka saat keduanya pergi ke belakang toko. Sepuluh menit kemudian kulihat Greg keluar dengan risau. Ada apa dengannya?
*****
“Apakah Anda, Duke Gregory McDougal menerima Duchess Catherine Well sebagai istri dan bersedia untuk tetap bersama baik dalam suka maupun duka?”
“Ya, aku bersedia.”
“Aku resmikan kalian sebagai suami isteri. Sekarang Anda boleh mencium pasangan Anda. Selamat.”
Ada perasaan bahagia bercampur sedih saat Greg mengucapkan ikrar sakral tersebut. Mereka tampak begitu bahagia dan sangat…’normal’. Aku pasti telah berkhayal telah terjadi sesuatu antara kami di waktu yang lalu. Sekarang aku hanya bisa ikut berbahagia dan mengharap segalanya yang terbaik untuk mereka berdua. Pasangan yang sungguh serasi.
Usai upacara pernikahan, aku menghadiri pesta pernikahan yang diadakan di sebuah puri mewah milik keluarga McDougal. Dulu aku sering berkunjung ke sana. Aku masih ingat ada ukiran yang kami buat bertahun-tahun lalu pada sebuah gerbang batu. Aroma khas lembah menyelimuti paru-paruku, hembusan angin dinginnya membuatku harus mengetatkan mantel. Malam yang sangat indah.
Di sebuah patio para pemain musik mengiringi kedua pengantin dengan riang. Aah. Itu sahabatku. Wajahnya sangat ceria, dan aku yakin dia telah menemukan kebahagiaannya. Selesai berdansa dengan Catherine, Greg menghampiri setiap tamu yang tengah menikmati jamuan. Aku sengaja memilih tempat yang agak tersembunyi. Greg menangkap bayanganku dan bergegas mendekatiku. Antara senang dan ragu aku tersenyum.
“Hi, Alfredo. How are you?”
“I feel great. Congratulation for you both though.”
“Yeah, thanks. Are you coming here with no one?”
“Uhuh. Why? Do you expecting me to come with someone?”
“Honestly, yes I do.”
“Well, I’m sorry. I find none to accompany me.”
Ini adalah pertemuan dan percakapan yang paling kaku selama aku berkawan dengannya. Aku menyalaminya dan dia menepuk pundakku. Musik yang dimainkan para pemain semakin riuh sehingga orang mulai berdansa berpasangan. Aku mempersilakan Greg untuk berdansa bersama istrinya tetapi dia hanya mengernyitkan dahinya. Aku menoleh ke arah Catherine dan melihatnya tengah asyik berdansa dengan adik sepupu Greg, Allan Marksburg. Mereka terlihat sangat akrab satu sama lain, ku pikir mereka adalah kawan.
Greg berpamitan sebentar tetapi dia memintaku untuk menunggunya di sebuah wine cellar tempat kami sering mencicipi anggur-anggur langka, yang seharusnya tidak boleh kami minum. Tak berapa waktu dia datang bersama Catherine. Aku memang agak terkejut karena setahuku tempat ini terlarang untuk para wanita.
Dengan anggun Catherine mengulurkan tangannya padaku. Aku membungkuk dan mencium punggung tangan yang dia ulurkan. Dia tersenyum. Greg melihatku dengan sangat seksama. Pandangan kami beradu dan aku memalingkan wajah darinya.
Aldo, this is my wife Catherine. Catherine, ini sahabat terbaikku juga seorang yang sangat istimewa buatku jadi kuharap kau tidak cemburu melihat kami.” Aku tersentak saat dia memperkenalkanku seperti itu. Tampaknya Catherine memahami maksudnya.
“Aku akan meninggalkan kalian berdua, sepertinya kalian sudah lama tidak berjumpa.” Dia memberi hormat seperti seorang putri bangsawan sejati. Maka aku pun membalasnya dengan membungkuk. Setelah itu dia mencium pipi Greg dan meninggalkan kami hanya berdua di sana. Deritan pintu menandakan Catherine telah benar-benar pergi.
“I miss you. Why don’t you ever contact me?” Greg bertanya sambil menarikku untuk duduk di sebuah kursi kayu mahoni. Aku tidak tahu harus berkata apa dan hanya bisa tersenyum getir.
“Why don’t you the one who call me?” jawabku setengah kesal.
“Sorry it was very very rough months here.”
Aku memalingkan muka dan menghembuskan nafas panjang. Aku tidak bisa menerima alasannya. Dia pikir aku tidak merindukannya dan ketakutan apa? Beberapa bulan kebelakang kuhabiskan untuk mencari banyak informasi tentang program beasiswa kedokteran di Eropa. Sejujurnya aku membuat diriku sibuk setengah mati agar tidak lagi dihantui masa laluku dan waktu yang pernah aku dan Greg lalui.
“I’ll pay what we’ve lost those many hours now. Would you stay with me tonight?”
“You want me to what?”
“Go to that room and you’ll understand. Please.”
Aku berdiri dan masih dipenuhi rasa ingin tahu mengapa dia menginginkanku menginap. Saat aku membuka pintu di ujung gudang, sebuah ruang yang dekorasi serta furniturenya mirip dengan kabin milik Greg. Aku memasuki ruangan itu dan melihat berkeliling.
“You like it? For six months i try to make this hideaway.”
“It’s marvellous” ruangan yang sungguh luar biasa, seolah memindahkan satu kabin secara utuh ke tempat lain.

Alfredo, sadarlah dia telah menikah. Nalarku berbicara sangat keras sehingga aku mendorong Greg hingga dia tersungkur.
“Greg...this is wrong. You are just married, but you spend your night with me,”kataku.
“It’s just a fake married.” Jawabnya sambil mengambil botol anggur dan menuangkan isinya ke dalam dua gelas Kristal kecil. Jawabannya membuatku terhenyak. Apa yang dia maksud dengan palsu...
“She never likes me anyway. She loves Allan.” Perlahan cairan merah mengisi gelas itu mengawali perasaan dan kegalauan Greg. “I bet she’s with him right now”
“What? This is crazy. So why are you married her?”
“My father. He wants me to behave normally. Find a girl and settle down. That kinda stuff.”
“He refuses to have a gay descent?”
“Yeah. But I fall in love only to you. She doesn’t remind to marry me because she can meet Allan anytime she wants.”
“You are crazy.” Aku tidak bermaksud mengoloknya tetapi apa yang baru saja kedengar sepertinya tidak benar dan tidak dapat aku pahami.
Kami berbicara cukup lama hingga tak menyadari seorang pelayan masuk membawa dua piring kecil kue muffin. Pada saat itu kami duduk terlalu dekat, sehingga mungkin pelayan itu memiliki pikiran yang tidak baik. Aku menggeser tubuhku sedikit ke ujung dan mengambil muffin yang disuguhkannya. Greg sengaja meletakkan tangan kirinya di lutut kananku. Pelayan itu agaknya sedikit terperanjat, melihat reaksinya Greg bangkit dan memintanya pergi.
“Tuan muda, Duchess mencari Anda.” Pelayan itu berbicara dengan kepala tertunduk. Greg bersikap sangat tenang sedangkan aku gugup setengah mati.
“Dimana dia sekarang?” tanyanya tanpa ekspresi sedikitpun.
“Duchess ada di ruang baca utama, Tuan” jawabnya masih tertunduk. Saat aku menatapnya dia semakin tertunduk. Setelah itu dia permisi. Pintu pun perlahan ditutup.
Greg duduk lagi sambil menggoyang-goyangkan gelas anggurnya. Tarikan nafasnya terdengar berat. Pasti dia sedang mengalami sesuatu yang sangat berat. Sejenak dia menoleh kepadaku dan kemudian bangkit mengajakku kembali ke ruang utama.
Langkah Greg sangat gontai, biasanya aku selalu tertinggal di belakang tetapi tidak kali ini. Kudengar langkah kakinya tak terdengar, aku segera menoleh dan melihatnya sedang menyalakan rokok.
“Since when you start to smoke again? I thought you’re quit.” Tanyaku keheranan.
“Well, lot of things burdens me lately.” Rokoknya mulai menyala dan mengepulkan asap. Aku menunggunya untuk berjalan tanpa bicara apapun.
Satu tahun berlalu dan bulan depan adalah hari jadi pernikahan Greg. Aku berbaikan dengan ayah dan kembali padanya. Ayah terlihat sangat gembira dan selalu membuat banyak hal agar aku senang. Sikapku pun mulai melunak padanya. Aku pun menghentikan hubungan gelapku bersama Greg, aku hanya pernah diperkosa dan bukan seorang gay. Saat ini aku mulai menjalin hubungan dengan seorang wanita.
Bian Greenwood. Seorang mahasiswi seni tingkat terakhir dan bekerja paruh waktu sebagai seorang tour guide di Madam Tussaud Museum. Hubungan kami adalah hasil perjodohan. Lebih baik aku terima daripada seumur hidup aku mengira diriku berubah menjadi gay. Bian sangat anggun tetapi liar pada saat bersamaan. Kadang aku merasa inferior jika sedang bersamanya.
Aku kini melanjutkan perkuliahan yang sempat terputus dua tahun lalu. Dunia pengobatan adalah obsesi terdalamku, mungkin aku terdorong untuk mengobati apa yang telah terjadi di masa laluku. Sebagai pekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji, aku bisa mulai menabung lagi. Ayah tidak pernah setuju dengan keputusanku bekerja disana.
“Kau sudah tertidur? Maaf aku membangunkanmu,” Memang terlalu malam untuk menghubunginya tapi aku penasaran.
“Mmmm, ini Aldo? Ada apa kau menghubungiku larut begini?” suara Bian parau.
“Maaf. Aku ingin berkunjung ke tempatmu sekarang. Boleh?
“Ini terlalu larut untuk berkunjung.” Aku merasakan kalau Bian keberatan dengan permintaanku.
“Baiklah, aku memang keterlaluan. Maaf sudah membangunkanmu. “
Tak ku dengar kata-kata di telepon hanya suara nafas Bian, aku masih menunggu sebelum memutuskan untuk mengakhiri percakapan.
“Tunggu. Datanglah!” Bian menyahut tiba-tiba, aku tidak yakin apakah dia serius atau tidak.
“Kau...kau serius?” tanyaku penuh keraguan.
“Ya, datanglah aku menunggumu. Sampai jumpa.” Belum sempat aku mengucapkan selamat malam, telepon telah ditutup.
Untuk menuju apartment Bian, aku cukup berjalan kaki sebab telepon booth yang tadi aku gunakan ada di sebuah kedai kopi tiga blok dari tempatnya. Pukul 01.23. Udara malam yang membekukan darah tidak membuatku mempercepat langkah. Aku berpikir apakah keputusanku ini salah...sebuah mobil escalade hitam melaju kencang dan membuatku terkejut. Aku terduduk di bawah tiang lampu jalanan.
Seorang wanita Asia keluar dari mobil dengan panik. Dia menghampiriku dan memegang dahiku. Ada darah. Darah siapa? Kepalaku menjadi berat dan aku tidak ingat apa yang terjadi kemudian. Ketika tersadar, aku melihat sebuah ruangan yang bersih penuh instalasi medis. Aku ada di rumah sakit, tetapi mengapa...
“Oh, akhirnya kau sadar. Syukurlah.” Wanita Asia itu menyapaku lembut. Aku berusaha bangkit tetapi dia menahanku untuk tetap berbaring.
“Gadis itu menunggumu siuman beberapa hari ini. Gadis yang baik, kurasa dia sangat mencintaimu.” Lanjutnya sambil menunjuk seorang gadis yang tertidur di atas sebuah sofa berselimutkan jaket milikku.
“Bian....” bisikku.
“Kau ingin dia aku bangunkan?” Tanya wanita itu sangat sopan. Aku menggeleng dan menatap wanita itu.
“Aku Satsune Gilligan. Aku tidak melihatmu berjalan di kegelapan dan pada waktu itu aku mengemudi terlalu cepat.

Bian terbangun.

“Tidak apa, aku memang salah berjalan tidak hati-hati. Maaf merepotkan Anda.” Kataku sambil melirik Bian.
“Kurasa kita sama-sama bersalah. Lupakan dan istirahatlah. Aku harus pergi sekarang.” Dia bangkit menggenggam tangan kananku. Kami tersenyum. Wanita itu pergi saat Bian benar-benar bangun.
“Alfredo Neva...kau membuatku hampir mati.” Jerit Bian tertahan. Aku kehilangan kata melihatnya begitu panik. Baru kali ini ada seorang yang memperhatikanku dan membuatku merasa berharga.
“Terimakasih kau begitu baik padaku. Bagaimana kau tahu?”
“Seorang wanita menghubungiku dengan panic, bertanya apakah aku mengenal seorang pria bernama Alfredo Neva. Aku langsung kemari setelahnya.” Katanya sambil tersedu.
“Tapi aku tidak apa-apa kan?”
“Dokter bilang, kaki kirimu retak jadi kau terpaksa harus menggunakan kursi roda selama 6 bulan.”
“Apa....” rupanya aku berteriak terlalu keras sebab seorang perawat bergegas memasuki kamar dan memeriksa keadaanku. Dia tersenyum puas melihat perkembanganku dan menyarankan agar aku tetap beristirahat.
*****
Rumah yang sangat indah dengan gaya arsitektur rumah tradisional Jepang. Sebuah foto keluarga terpasang di ruang tengah. Mereka berpakaian tradisional Jepang tetapi ada beberapa diantaranya adalah orang asing. Keluarga besar. Sebuah taman khas Jepang lengkap dengan suara aliran air menemani keheninganku.
Rumah ini telah menjadi pusat rehabilitasiku selama enam bulan. Pemiliknya adalah Satsune, wanita yang menabrakku. Aku kagum dengan sikapnya, elegan sekaligus tegas penuh wibawa. Pakaian ala Barat tidak lagi aku kenakan selama tinggal di sini, mereka bilang untuk membuatku lebih leluasa. Aku pun mulai menyukai yukata pemberian Satsune. Kudengar dia seorang penasehat di sebuah kedutaan, pantas saja dia jarang aku lihat.
Suami dan keluarga Satsune tinggal di rumah terpisah, tetapi masih dalam satu komplek rumah yang sama. Rumah yang kutempati berada di bagian selatan rumah utama dan terdapat banyak pohon bunga sakura yang belum mekar. Bian masih merawatku dengan penuh perhatian. Aku terpaksa cuti lagi dari perkuliahan.
Seorang pelayan datang menggeser pintu dalam posisi duduk. Dia membawa baki berisi teh hijau dan dupa wangi. Wajahnya tidak pernah terangkat, posisi tubuhnya sangat indah. Riasan wajahnya sangat sederhana dan hiasan di rambutnya pun begitu.
“Aldo, ayo masuk.” Bisik Bian sambil mendorong kursi rodaku. Ku jawab dengan anggukan.
“Tuan. Silakan diminum. Sebentar lagi Nyonya akan menemui Anda.” Pelayan itu bicara dengan bahasa Inggris yang kaku.
“Terimakasih. Kau boleh pergi.” Dia pamit. Caranya untuk berpamitan sungguh unik. Dia memberiku hormat dengan menyentuhkan dahinya ke lantai. Kemudian dia keluar dengan cara seperti dia masuk.
“Ini bulan keenam. Seharusnya aku sudah bisa berdiri dan berjalan lagi.” Kataku memecah keheningan.
“Tidak secepat itu. Kau masih harus mengikuti terapi dulu dan kau tahu tidak...semua biaya pengobatanmu ditanggung Nyonya Satsune. Wanita yang baik hati.” Tak lama dari itu pintu digeser dan Satsune Gilligan masuk. Dia memberiku hormat sambil berdiri lalu duduk di depanku. Dia sepertinya ingin menyampaikan sesuatu, tapi dapat kubaca dari sikapnya bahwa dia ragu-ragu.
Satsune duduk dengan gaya seorang keluarga bangsawan. Bian dan aku diam menunggunya melakukan atau berkata sesuatu. Bian melihatku tegang, dia menyuguhkan teh yang dibawa pelayan rumah sebelumnya. Satsune menarik nafas saat melihat kakiku. Rupanya ini berhubungan dengan diriku.
“Ada apa Nyonya? Sepertinya Anda sangat khawatir.”
Bian memulai pembicaraan tetapi Satsune masih terdiam. Kami kebingungan dengan situasi ini.
“Kau harus mengikuti terapi pendengaran di Listening Centre bersama dr. Paul Tomatis.”
Perkataan Satsune hanya memecah kebingungan kami sesaat karena detik kemudian kami diburu kebingungan yang lain.
“Aku tidak mengerti. Pendengaranku baik-baik saja.”
Satsune tidak menjawab, dia mengeluarkan selembar kertas dengan sebuah grafik penuh warna. Di bawanya tertulis namaku. Aku mengernyitkan dahi. Cara bicaranya sungguh serius dan membuatku sangat penasaran. Bian mengambil kertas itu dan memperlihatkannya padaku.
*****
Dua orang gadis kembar selalu menemaniku jika Bian tidak datang menjenguk. Mereka gadis yang luar biasa. Keduanya adalah putri Satsune dan mereka memperlakukanku sangat baik. Aku tinggal di asrama Listening Centre milik dr. Tomatis. 
Sulit bagiku mengingat nama dan wajah dari kedua gadis itu. Tetapi pada akhirnya aku bisa menyebutkan dengan benar. Namanya sangat unik. Micca dan Mecca Katz Gilligan. Tiga nama dari tiga bangsa yang bersebrangan. Uniknya lagi wajah keduanya sangat oriental–persis Satsune. Bian terkadang merasa tersisih setiap mereka hadir.
Suatu waktu ketika Bian berkunjung, dia menemukan kami asyik bermain scrabble di ruang terapi. Wajah Micca penuh dengan goresan kapur begitu juga aku. Kami kalah telak melawan Mecca yang seorang doctor muda.
Aku merasakan Bian, Micca dan Mecca saling mencemburui setiap salah satu dari mereka bersamaku. Meski demikian aku menganggapnya biasa, sebab para gadis memang seperti itu.
“Hiasan ini untukku ya?” Micca mendekati sambil menggenggam sebuah perhiasan.
“Hiasan itu hadiah untuk seseorang. Maaf.” Kulihat Micca kecewa dan pergi begitu saja.
Bian datang membawa telepon genggam dan memberikannya padaku.
“Hallo. How are you, Hun?”
Suara itu...sudah lama aku tidak mendengarnya.
“Aldo...are you there?”
Apakah ini mimpi atau ilusi lain dari obat yang baru saja aku minum.
“Aldo...it’s me Gregory.”  Ternyata ini bukan mimpi siangku yang lain.
“Yeah. I’m Aldo.” Bian memperhatikanku dari sudut matanya. Aku kemudian berbalik menghadap jendela kamar berpanorama lembah.
“I heard you are in dr. Tomatis treatment. Feelin better?” entah bagaimana Greg bisa mengetahui nomor baruku terlebih mengetahui kabarku.
“You might surprise. I know this from Cat, my wife.” Intuisi Greg masih sekuat dan setepat dulu.
“Catherine? How?”
“Ha ha ha. She works there, hun.” Berpikir tentang kemungkinan itu saja telah kubuang jauh tapi ternyata dugaanku benar.
“She is a therapist there and guess what...Allan Marksburg is also working there.”
Aku merasakan kekecewaan dari nada suaranya. Aku tidak pernah mengetahui bahwa istri dan sepupunya bekerja di tempat yang sama. Di tempat ini.
“I’m sorry to hear that. So, how is your life?”
“Sucks. Ok, nice to hear you again but i gotta go now.”
“Okay, thanks for calling. Bye.” Aku menutup telepon dan membiarkannya tergeletak di atas ranjang. Seprei yang tadi acak-acakan kini sudah rapi dan selimut yang tadi aku biarkan terjatuh kini terlipat rapid an sempurna di pangkuan Bian.
Selama ini aku berpikir Greg telah melupakanku dan hidup bersama istrinya yang cantik. Hidup yang indah sepertinya tidak akan pernah menghampiri kami lagi. Dari ujung lorong terdengar suara cekikikan Micca dan Mecca. Bian dengan segera mendekapku dari belakang.
Tingkah mereka bertiga persis seperti anak-anak yang berebut mainan. Meski Bian memelukku, aku tidak dapat merasakan apapun saat ini. Bian merasakan kehadirannya membuatku terganggu, padahal aku yang terganggu dengan diriku sendiri. Aku kasihan pada Bian yang selama ini telah banyak berkorban untukku.
“C’est la vie, my dear.” Bisiknya.
Aku iba dengan keadaannya yang seolah memudar dalam duniaku. Mungkin lebih baik Bian pergi dari duniaku agar kebahagiaan menghampirinya. Suara tawa Micca dan Mecca berhenti saat mereka melihat kami berpelukan. Kulihat wajah mereka memerah–marah, curiga, kesal, benci–melihatku.
Pikiranku masih diganggu telepon Greg. Perilaku ketiga gadis itu tidak lagi menjadi perhatianku. Di tempat ini bukan hanya membuatku merasa baikan tetapi juga mendapatkan kembali apa yang pernah hilang. Tiba-tiba seorang dokter muda memasuki ruanganku.
“Catherine?”
Aku hampir menjerit melihatnya berjalan menuju kami. Ketiga gadis itu–Bian, Micca dan Mecca– melihat ke arahnya. Orang yang kusapa tersenyum dan duduk di sampingku. Wanita ini adalah pengantin Greg sekaligus orang yang menyakitinya. Entah apakah aku harus berterima kasih atau justru membencinya.
“Aku memberitahu keadaanmu pada Greg. Apakah dia sudah menghubungimu?”
“Mengapa kau memberitahunya?”
“Aku tahu apa yang terjadi di antara kalian. Bisakah kita bicara berdua?”

Aku mengangguk dan mengajaknya pergi ke arah taman di bagian samping gedung. Kami berdua meninggalkan ketiga gadis itu sendirian; kuharap mereka tidak membuat keributan. Aku merasakan sebuah kegelisahan pada diri Catherine. Perasaan benci itu akhirnya berkurang.
Catherine duduk tertunduk di sampingku, jemarinya memainkan ujung jas putihnya. Aku memperhatikan setiap geriknya, sungguh menyedihkan. Rambut merahnya tertiup angin lembah dan menutupi setengah wajahnya. Aku ingin menyibakkannya tetapi...
“Pernikahan kami memang telah diatur tetapi itu atas persetujuan kami,” suaranya yang merdu memenuhi udara.
“menikahi Gregory adalah impianku sejak dulu.” Lanjutnya terbata.
“Bukankah kau menyukai Allan?” saat aku bertanya kulihat ada seulas senyum getir di bibirnya.
“Aku hanya menyukai Greg, Allan adalah kekasih Greg semasa remaja.”
Mendengarnya membuatku limbung, tubuhku terasa berat dan menyandarkan diri pada punggung kursi taman. Catherine menoleh dan menatapku.
“Aku juga tahu kau pernah memiliki hubungan bersamanya. Allan bersedia melepas Gregory  jika aku memberinya wewenang di sini.”
“Dan...apa yang kau mau dariku?”
“Hiasan kancing dan kerah yang kau miliki adalah hadiah dariku.” Tubuhku seolah dialiri jutaan volt listrik dan seketika aku merasakan sebuah kepanikan yang luar biasa. Sekarang aku tahu alasan kegelisahan Greg pada saat ada di toko barang antic pada waktu itu.
“Hiasan itu...Greg tidak pernah tahu siapa pengirimnya. Dia mengira Allan yang menghadiahinya.”
“Keluarga Mc Dougal sepertinya sangat gila. Dan, kau...kau sangat...” Aku tidak tega untuk melanjutkannya.
“Menyedihkan? Aku tahu.” Dia berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang lalu melanjutkan perkataannya, “Aku yakin Gregory bisa berubah..”
Catherine menghapus air matanya dengan syal sutra yang melingkar di lehernya. Aku menawarkan sapu tangan tapi dia menolaknya. Aku sekarang merasa iba padanya, ternyata masih ada orang yang lebih terpuruk daripadaku.
“Aku tahu bahwa hanya seorang yang selalu dirindukannya. Kau...” Catherine berbicara seolah aku penyebab hidupnya yang kacau.
“Kau ingin aku melepaskan Greg? Aku bukan seorang gay, bahkan seorang gadis menjadi kekasihku.” Berusaha membela diriku atas pernyataannya.
“Just prove it, okay.” Catherine berdiri, pergi bersama hembusan angin.
Sentuhan angin menebarkan bakal kehidupan baru di taman. Tetapi sepertinya duniaku sudah retak dan tak lagi mungkin dapat diperbaharui. Terdengar langkah ringan di belakangku. Bian duduk menemaniku. Sebenarnya aku menyukai Bian dan aku pun laki-laki normal, namun perasaanku terhadap Greg itu apa?