(Kajian Ideologis pada Chick-lit
Terjemahan “Learning Curves” dan Chick-lit Indonesia “Orang
Ketiga”)
Pendahuluan
Novel
chick-lit sempat meledak pada tahun 2000-an di Indonesia dan bertahan
selama beberapa tahun. Pada masa itu setiap toko buku di kota Bandung menjual
ratusan judul novel chick-lit. Akan tetapi, saat saya menulis kajian ini
agaknya sulit mencari novel yang diberi label “chick-lit” seperti dulu. Chick-lit
ditujukan pada perempuan lajang dengan rentang usia yang memasuki kategori
dewasa muda karena kisahnya hanya mengenai seputar kehidupan mereka.
Chick-lit
muncul dan membuat perempuan mulai gemar membaca. Perempuan cenderung enggan
membaca buku atau novel yang dianggapnya rumit, sehingga ketika chick-lit
muncul mereka merasa “tercerahkan”. Kisah dalam chick-lit, baik
terjemahan maupun karya asli, hampir selalu sama, selalu berbicara mengenai
cinta, karir dan kebahagiaan menjadi seorang perempuan lajang.
“Learning
Curves”, yang kemudian diterjemahkan sebagai Misi Rahasia, ditulis oleh
Gemma Townley. Townley adalah seorang jurnalis, editor dan kepala bagian
komunikasi di Chartered Institute of Management Accountant yang bermukim
di West London. Sedangkan “Orang ketiga” ditulis oleh Yuditha Hardini seorang
penulis muda yang juga lulusan psikologi. Kedua chick-lit ini memiliki
persamaan dan perbedaan yang dapat dikaji secara feminis, akan tetapi saya akan
mencoba mengajinya melalui pendekatan ideologis menggunakan teori ideologi
milik Althusser.
Chick-lit Inggris dan Indonesia
Chick-lit dianggap memiliki peran penting dalam
penyebaran ideologi tertentu karena selama ini fiksi memang menjadi media yang
efektif terutama dalam menyebarkan
nilai-nilai yang diyakini oleh gerakan tersebut (Jordan dan Weedon, 1995). Jika
melihat pada pernyataan Jordan dan Weedon maka ideologi yang disebarkan dalam chick-lit
adalah feminisme. Chick-lit Inggris dan Indonesia keduanya muncul akibat
fenomena sosial perubahan-perubahan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
berpengaruh pada pergeseran cara pandang dan pemikiran mengenai peran perempuan
dalam kehidupan. Kisah yang ada dalam chick-lit dimunculkan untuk
memahami kondisi perempuan muda dalam menghadapi berbagai perubahan dalam
masyarakatnya atau dirinya sendiri.
Bridget
Jones’s Diary adalah chick-lit pertama di Inggris yang memicu penyebaran
kemunculan chick-lit yang lain di berbagai belahan dunia. Donadio (2006)
menyebutnya sebagai ‘chick-lit pandemic’ karena seluruh dunia
digemparkan oleh kesuksesan Bridget Jones dan mendorong para penulis perempuan
untuk berkarya. Penyebarannya semakin meluas tidak hanya di dunia barat tapi
juga merambah ke Asia, khususnya Indonesia, bahkan Afrika. Dalam esainya, dia
mengatakan bahwa popularitas Bridget Jones menyebabkan kemunculan sastra
Indonesia yang ditulis oleh para wanita muda. Sastra wangi atau ‘fragrant
literature’ dianggapnya sebagai aliran susastra Indonesia yang muncul setelah
runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Akan
tetapi, keberadaan chick-lit sebagai bagian dari kesusastraan pun masih
diperdebatkan oleh para kritikus dan akademisi. Cris Mazza adalah seorang
penulis perempuan yang mengemukakan istilah ‘chick-lit’ sebagai judul antologi
fiksi posfeminis miliknya. Antologi fiksi tersebut kemudian semakin hangat
diperbincangkan setelah adanya Bridget Jones’s Diary. Ferris dan Young (2005)
justru mengatakan bahwa kemunculan chick-lit justru telah ada sejak abad
19. Mereka berpendapat bahwa Bridget Jones’s Diary memiliki kesamaan bentuk
alur dan cara penyampaian dengan novel-novel yang ditulis para penulis
perempuan di abad 19, misalnya saja kemiripan Bridget Jones’s Diary dengan
Pride and Prejudice milik Jane Austen. Chick-lit yang muncul berikutnya
di Inggris pun cenderung memiliki kesamaan plot dan cara pandang dengan karya
Bronte bersaudara, Edith Wharton dan Frances Burney. Meskipun demikian tetap
terdapat perbedaan diantara karya-karya penulis perempuan dan chick-lit.
Chick-lit lebih banyak menampilkan seorang perempuan karir yang mapan,
terobsesi dengan penampilan serta keinginan untuk menghabiskan uang atau
berbelanja, semua hal tersebut tidak ada dalam karya penulis perempuan abad 19.
Secara umum chick lit biasanya mudah dibaca, bertema ringan, memadukan humor,
cinta, mode, drama, ketegangan, dan sebagainya.
Masuknya chick-lit
ke Indonesia diawali dengan karya-karya terjemahan chick-lit Inggris ke
dalam bahasa Indonesia. Beberapa karya terjemahan awal adalah empat judul
pertama yaitu Buku harian Bridget Jones, Buku Harian sang calon Pengantin,
Pengakuan si Gila Belanja, dan Jemima J. Lahirnya karya-karya awal chick lit
Indonesia terjadi pada tahun 2004 dengan diterbitkannya Cintapuccino karya Icha
Rahmawati. Kesuksesan chick-lit Indonesia generasi pertama tersebut
diiringi dengan lahirnya penulis-penulis chick-lit baru dan fenomena chick-lit
Indonesia di sekitar tahun 2004-2005an. Taufiqurrohman (2010) menyebut chick-lit
Indonesia adalah nama fiksi populer yang ditulis oleh perempuan muda Indonesia
yang bercerita tentang isu kehidupan sehari-hari perempuan lajang kelas
menengah modern yang hidup di kota metropolitan di Indonesia. Pada awal
kemunculannya pada tahun 2004-2005an, novel sejenis ini diberi label atau
dipasarkan sebagai chick-lit. Namun, seiring dinamika yang mengiringnya
label chick-lit tidak lagi ditulis pada sampul depan. Tokoh utama dalam
chick lit Indonesia adalah perempuan lajang dengan rentang usia dua puluh
hingga tiga puluhan awal yang berpendidikan, memiliki karakter, hidup dan bekerja
di kota besar dengan latar masyarakat urban kontemporer.
Chick-lit Indonesia menggunakan bahasa gaul atau
bahasa sehari-hari yang sering dipakai di kalangan anak muda. Konteks perkotaan
sangat kental mewarnai tema-tema dalam chick lit Indonesia karena kebanyakan
penulis dan pembaca berasal dari kelas menengah ke atas perkotaan. Beberapa chick-lit
Indonesia adalah adaptasi buku harian yang seolah-olah isi chick-lit
Indonesia adalah curahan hati sang penulis. Hal tersebut membuat chick-lit
Indonesia disukai pembaca perempuan lajang yang tinggal di perkotaan dan
membutuhkan bacaan ringan yang menghibur di sela-sela rutinitas kesibukan.
Dengan
demikian terdapat ciri-ciri chick-lit yang bisa dikenali baik yang
ditulis perempuan barat maupun Indonesia. Chick-lit biasanya ditulis
oleh perempuan meski tidak selalu karena di Indonesia terdapat Christian
Simamora yang banyak menulis chick-lit. Para pembaca chick-lit
pun pada umumnya adalah perempuan, tokoh utama dalam chick lit biasanya
perempuan yang berusia antara 20-40 tahun, belum menikah, atau seorang ibu
muda, dinamis, mandiri, pekerja keras, tapi tidak lupa melewatkan waktu luang
di kafe-kafe, klub malam, dan berkencan dengan pria-pria tampan. Konsep
keluarga tradisional digantikan dengan sekumpulan figur heterogen misalnya
keberadaan ayah-ibu atau salah satunya, sahabat baik yang “aneh” atau terobsesi
pada sesuatu, mantan pacar yang menjadi teman, dan sebagainya. Konflik yang
dimunculkan ringan dan dibangun hampir setiap saat dalam alurnya. Kehidupan dan
perilaku seks dibicarakan secara ringan dan terbuka atau bahkan dengan humor
yang hadir yang cukup tinggi, dibangun dari komedi situasi.
Being Single and Happy
Slogan yang selalu diusung oleh chick-lit adalah being single and
happy atau lajang dan bahagia. Jika demikian maka persepsi umum mengenai chick-lit
adalah kisah mengenai para perempuan yang bahagia dengan statusnya yang lajang.
Ideologi feminis ditanamkan dan disebarkan melalui slogan tersebut dimana
kemudian akan tereksternalisasikan melalui perilakunya pada saat berinteraksi.
Interaksi antar manusia atau antara manusia dengan sebuah teks, dalam hal ini chick-lit,
dalam kehidupan sehari-hari merupakan aktivitas ideologis karena
ketidaksetaraan status sosial dan power yang terjadi di masyarakat ‘mengikat’
mereka ke dalam suatu tatanan sosial yang disebut social order, di mana
ideologi dominan maupun ideologi ‘masyarakat’ terus bereproduksi. Ideologi
bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar, dan
alamiah, dan tanpa sadar menerima
sebagai kebenaran.
Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk dari suatu kesadaran palsu.
Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya
dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyrakat, bukan oleh biologi yang
alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat,
tidak oleh psikologi individu. Hal semacam ini terdapat pada “Learning
Curves” dan “Orang Ketiga” dimana kedua tokoh utamanya menerima ideologi
masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan berperilaku sebagai
individu dan anggota keluarga—anak. Dengan demikian ideologi juga menciptakan
subjek. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya posisi tertentu dalam suatu
relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut.
Jennifer Bell, tokoh utama perempuan dalam "Learning Curves",
terlahir dari kedua orang tua yang pada mulanya saling mencintai kemudian
memutuskan untuk bercerai. Selama lima belas tahun ibunya, Harriet, tidak
pernah mengizinkan Jen untuk bertemu dengan ayahnya dengan alasan ayahnya telah
meninggalkan mereka demi mengejar ambisinya dan karirnya sehingga tidak
menginginkan Jen ataupun Harriet. Jen yang dibesarkan dalam kondisi perceraian,
ibu yang sibuk dengan pekerjaan dan pencitraan untuk menunjukkan kemandiriannya
pada George, suaminya. Jen menjadi seorang yang mandiri dan sangat membenci
bisnis, karena ayahnya adalah seorang pebisnis. Ideologi feminis yang
ditanamkan ibunya membekas pada Jen. Ibu dalam hal ini menjadi sarana penanaman
ideologi, karena ketidak beradaan ayah ideologi feminis pada diri Jen
menguat.Sebagaimana yang dikatakan Althusser bahwa ideologi diterapkan melalui
ISA (Ideology States Apparatus) yang diantaranya media, sekolah, gereja, maupun
keluarga. Sebaliknya dalam "Orang Ketiga", Anggia Syafitri tidak
melibatkan kedua orang tua dalam perihal hidupnya melainkan sahabatnya, Kayla,
yang berperan sebagai penyalur ideologi. Anggi seorang desainer muda di
perusahaan Alvee. Peran kedua orang tua Anggi hanya muncul dan berpengaruh pada
Anggi secara ideologis ketika Anggi membawa Rudi ke hadapan orang tuanya untuk
mengenalkannya dan meminta restu untuk menikah (Hardini: 127).
Jen menjadi seorang pejuang lingkungan yang tergabung dalam Fighting for
Survival. Jen tidak menyukai pekerjaan di belakang meja yang dianggapnya
membosankan. Seorang perempuan yang dikategorikan berideologi feminis tentunya
tidak akan sepenuhnya menyerahkan perihal hidupnya kepada orang lain, terlebih
lagi pada laki-laki. Akan tetapi, Jen bergabung dengan Fighting for Survival
dikarenakan keberadaan Gavin, ketua organisasi yang kemudian menjadi kekasihnya
(Townley: 17). Sementara Anggi bekerja bukan karena keberadaan siapapun, meski
pada akhirnya dia semakin bersemangat untuk bekerja karena ada Angga, lelaki
yang menjadikannya selingkuhan (Hardini: 47).
Kedua perempuan ini berhasil mencapai kesuksesan dalam karirnya, memiliki
tempat tinggal yang cukup nyaman, penghasilan yang mencukupi kebutuhan
sehari-hari, juga komunitas dimana keduanya dapat bergaul. Komunitas Jen
terbentuk karena campur tangan ibunya sebagai seorang presiden direktur sebuah
perusahaan konsultan bernama Green Futures. Sedangkan Anggi membentuk
komunitasnya berdasarkan pekerjaan yang ditekuninya di Alvee.
Baik Jen maupun Anggi keduanya merasa nyaman akan kemapanan hidupnya.
Meskipun demikian, Jen merindukan antusiasme dan tantangan yang memunculkan
gairah seperti pada pekerjaan sebelumnya di Fighting for Survival
(Townley: 28). Anggi merasakan ketegangan justru pada saat menjalankan misi
mendekati Angga, sehingga tidak ada hubungan dengan kemandirian. Dengan
demikian jika ditelaah terdapat paradoksikal mengenai slogan “being single
and happy” karena pada kedua cerita tersebut para tokoh perempuan, Jen dan
Anggi, mengejar cintanya dan akhirnya demi mendapatkan cintanya mereka
melakukan banyak hal.
Chick-lit dan cinta
Apabila melihat pada kedua chick-lit
yang saya kaji, dapat dilihat bahwa permasalahan mengenai cinta tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan para perempuan. Meskipun perempuan lajang yang
tinggal di perkotaan hidup mapan dengan segala stabilitasnya, kebutuhan akan
perhatian dari laki-laki tetap dibutuhkan. Pada chick-lit dalam
menggambarkan pencarian cinta, perempuan menggunakan segala cara sehingga dia
yang memegang peranan. Akan tetapi pada akhirnya, lelaki yang mengambil alih
kondisi tersebut ketika perempuan mendapatkan cintanya.
Referensi
Bethman, Brenda. Chick-Lit
Revisited: Bridget Jones Meets Jessica, 3. Feminist ReWritings in Austrian
Literature Panel, Women in German Annual Conference.
Donadio, Rachel. The
Chick-Lit Pandemic. March 19th, 2006. The New York Times.
Hardini, Yuditha. Orang
Ketiga. 2010. Jakarta: GagasMedia.
Hooten, Jessica Lynice. In
the Classroom or in the Bedroom. Chick-lit: The New Woman’s Fiction. 2005.
Routledge Publishing.
http://freshfiction.com/author.php?id=11429, diakses pada tanggal 27 Oktober 2011
pukul 5.05 WIB
Strinati, Dominic. Popular
Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. 2004. Yogyakarta: PT
Bentang Pustaka.
Taufiqurrohman, Muhammad.
Produksi Budaya Chick-Lit Indonesia. 2010. Jakarta: FIB UI.
Townley, Gemma. Learning
Curves (Misi Rahasia). Alih Bahasa: Utti Setiawati. 2006. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar