Rabu, 22 Februari 2012

Paradoksikal Being Single and Happy


(Kajian Ideologis pada Chick-lit Terjemahan “Learning Curves” dan Chick-lit Indonesia “Orang Ketiga”)

Pendahuluan
            Novel chick-lit sempat meledak pada tahun 2000-an di Indonesia dan bertahan selama beberapa tahun. Pada masa itu setiap toko buku di kota Bandung menjual ratusan judul novel chick-lit. Akan tetapi, saat saya menulis kajian ini agaknya sulit mencari novel yang diberi label “chick-lit” seperti dulu. Chick-lit ditujukan pada perempuan lajang dengan rentang usia yang memasuki kategori dewasa muda karena kisahnya hanya mengenai seputar kehidupan mereka.
            Chick-lit muncul dan membuat perempuan mulai gemar membaca. Perempuan cenderung enggan membaca buku atau novel yang dianggapnya rumit, sehingga ketika chick-lit muncul mereka merasa “tercerahkan”. Kisah dalam chick-lit, baik terjemahan maupun karya asli, hampir selalu sama, selalu berbicara mengenai cinta, karir dan kebahagiaan menjadi seorang perempuan lajang.

            “Learning Curves”, yang kemudian diterjemahkan sebagai Misi Rahasia, ditulis oleh Gemma Townley. Townley adalah seorang jurnalis, editor dan kepala bagian komunikasi di Chartered Institute of Management Accountant yang bermukim di West London. Sedangkan “Orang ketiga” ditulis oleh Yuditha Hardini seorang penulis muda yang juga lulusan psikologi. Kedua chick-lit ini memiliki persamaan dan perbedaan yang dapat dikaji secara feminis, akan tetapi saya akan mencoba mengajinya melalui pendekatan ideologis menggunakan teori ideologi milik Althusser.
Chick-lit Inggris dan Indonesia
Chick-lit dianggap memiliki peran penting dalam penyebaran ideologi tertentu karena selama ini fiksi memang menjadi media yang efektif terutama dalam  menyebarkan nilai-nilai yang diyakini oleh gerakan tersebut (Jordan dan Weedon, 1995). Jika melihat pada pernyataan Jordan dan Weedon maka ideologi yang disebarkan dalam chick-lit adalah feminisme. Chick-lit Inggris dan Indonesia keduanya muncul akibat fenomena sosial perubahan-perubahan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berpengaruh pada pergeseran cara pandang dan pemikiran mengenai peran perempuan dalam kehidupan. Kisah yang ada dalam chick-lit dimunculkan untuk memahami kondisi perempuan muda dalam menghadapi berbagai perubahan dalam masyarakatnya atau dirinya sendiri.
Bridget Jones’s Diary adalah chick-lit pertama di Inggris yang memicu penyebaran kemunculan chick-lit yang lain di berbagai belahan dunia. Donadio (2006) menyebutnya sebagai ‘chick-lit pandemic’ karena seluruh dunia digemparkan oleh kesuksesan Bridget Jones dan mendorong para penulis perempuan untuk berkarya. Penyebarannya semakin meluas tidak hanya di dunia barat tapi juga merambah ke Asia, khususnya Indonesia, bahkan Afrika. Dalam esainya, dia mengatakan bahwa popularitas Bridget Jones menyebabkan kemunculan sastra Indonesia yang ditulis oleh para wanita muda. Sastra wangi atau ‘fragrant literature’ dianggapnya sebagai aliran susastra Indonesia yang muncul setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Akan tetapi, keberadaan chick-lit sebagai bagian dari kesusastraan pun masih diperdebatkan oleh para kritikus dan akademisi. Cris Mazza adalah seorang penulis perempuan yang mengemukakan istilah ‘chick-lit’ sebagai judul antologi fiksi posfeminis miliknya. Antologi fiksi tersebut kemudian semakin hangat diperbincangkan setelah adanya Bridget Jones’s Diary. Ferris dan Young (2005) justru mengatakan bahwa kemunculan chick-lit justru telah ada sejak abad 19. Mereka berpendapat bahwa Bridget Jones’s Diary memiliki kesamaan bentuk alur dan cara penyampaian dengan novel-novel yang ditulis para penulis perempuan di abad 19, misalnya saja kemiripan Bridget Jones’s Diary dengan Pride and Prejudice milik Jane Austen. Chick-lit yang muncul berikutnya di Inggris pun cenderung memiliki kesamaan plot dan cara pandang dengan karya Bronte bersaudara, Edith Wharton dan Frances Burney. Meskipun demikian tetap terdapat perbedaan diantara karya-karya penulis perempuan dan chick-lit. Chick-lit lebih banyak menampilkan seorang perempuan karir yang mapan, terobsesi dengan penampilan serta keinginan untuk menghabiskan uang atau berbelanja, semua hal tersebut tidak ada dalam karya penulis perempuan abad 19. Secara umum chick lit biasanya mudah dibaca, bertema ringan, memadukan humor, cinta, mode, drama, ketegangan, dan sebagainya.
Masuknya chick-lit ke Indonesia diawali dengan karya-karya terjemahan chick-lit Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa karya terjemahan awal adalah empat judul pertama yaitu Buku harian Bridget Jones, Buku Harian sang calon Pengantin, Pengakuan si Gila Belanja, dan Jemima J. Lahirnya karya-karya awal chick lit Indonesia terjadi pada tahun 2004 dengan diterbitkannya Cintapuccino karya Icha Rahmawati. Kesuksesan chick-lit Indonesia generasi pertama tersebut diiringi dengan lahirnya penulis-penulis chick-lit baru dan fenomena chick-lit Indonesia di sekitar tahun 2004-2005an. Taufiqurrohman (2010) menyebut chick-lit Indonesia adalah nama fiksi populer yang ditulis oleh perempuan muda Indonesia yang bercerita tentang isu kehidupan sehari-hari perempuan lajang kelas menengah modern yang hidup di kota metropolitan di Indonesia. Pada awal kemunculannya pada tahun 2004-2005an, novel sejenis ini diberi label atau dipasarkan sebagai chick-lit. Namun, seiring dinamika yang mengiringnya label chick-lit tidak lagi ditulis pada sampul depan. Tokoh utama dalam chick lit Indonesia adalah perempuan lajang dengan rentang usia dua puluh hingga tiga puluhan awal yang berpendidikan, memiliki karakter, hidup dan bekerja di kota besar dengan latar masyarakat urban kontemporer.
Chick-lit Indonesia menggunakan bahasa gaul atau bahasa sehari-hari yang sering dipakai di kalangan anak muda. Konteks perkotaan sangat kental mewarnai tema-tema dalam chick lit Indonesia karena kebanyakan penulis dan pembaca berasal dari kelas menengah ke atas perkotaan. Beberapa chick-lit Indonesia adalah adaptasi buku harian yang seolah-olah isi chick-lit Indonesia adalah curahan hati sang penulis. Hal tersebut membuat chick-lit Indonesia disukai pembaca perempuan lajang yang tinggal di perkotaan dan membutuhkan bacaan ringan yang menghibur di sela-sela rutinitas kesibukan.
Dengan demikian terdapat ciri-ciri chick-lit yang bisa dikenali baik yang ditulis perempuan barat maupun Indonesia. Chick-lit biasanya ditulis oleh perempuan meski tidak selalu karena di Indonesia terdapat Christian Simamora yang banyak menulis chick-lit. Para pembaca chick-lit pun pada umumnya adalah perempuan, tokoh utama dalam chick lit biasanya perempuan yang berusia antara 20-40 tahun, belum menikah, atau seorang ibu muda, dinamis, mandiri, pekerja keras, tapi tidak lupa melewatkan waktu luang di kafe-kafe, klub malam, dan berkencan dengan pria-pria tampan. Konsep keluarga tradisional digantikan dengan sekumpulan figur heterogen misalnya keberadaan ayah-ibu atau salah satunya, sahabat baik yang “aneh” atau terobsesi pada sesuatu, mantan pacar yang menjadi teman, dan sebagainya. Konflik yang dimunculkan ringan dan dibangun hampir setiap saat dalam alurnya. Kehidupan dan perilaku seks dibicarakan secara ringan dan terbuka atau bahkan dengan humor yang hadir yang cukup tinggi, dibangun dari komedi situasi.
Being Single and Happy
Slogan yang selalu diusung oleh chick-lit adalah being single and happy atau lajang dan bahagia. Jika demikian maka persepsi umum mengenai chick-lit adalah kisah mengenai para perempuan yang bahagia dengan statusnya yang lajang. Ideologi feminis ditanamkan dan disebarkan melalui slogan tersebut dimana kemudian akan tereksternalisasikan melalui perilakunya pada saat berinteraksi. Interaksi antar manusia atau antara manusia dengan sebuah teks, dalam hal ini chick-lit, dalam kehidupan sehari-hari merupakan aktivitas ideologis karena ketidaksetaraan status sosial dan power yang terjadi di masyarakat ‘mengikat’ mereka ke dalam suatu tatanan sosial yang disebut social order, di mana ideologi dominan maupun ideologi ‘masyarakat’ terus bereproduksi. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar  menerima sebagai kebenaran.
Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk dari suatu kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyrakat, bukan oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu. Hal semacam ini terdapat pada “Learning Curves” dan “Orang Ketiga” dimana kedua tokoh utamanya menerima ideologi masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan berperilaku sebagai individu dan anggota keluarga—anak. Dengan demikian ideologi juga menciptakan subjek. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya posisi tertentu dalam suatu relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut.
Jennifer Bell, tokoh utama perempuan dalam "Learning Curves", terlahir dari kedua orang tua yang pada mulanya saling mencintai kemudian memutuskan untuk bercerai. Selama lima belas tahun ibunya, Harriet, tidak pernah mengizinkan Jen untuk bertemu dengan ayahnya dengan alasan ayahnya telah meninggalkan mereka demi mengejar ambisinya dan karirnya sehingga tidak menginginkan Jen ataupun Harriet. Jen yang dibesarkan dalam kondisi perceraian, ibu yang sibuk dengan pekerjaan dan pencitraan untuk menunjukkan kemandiriannya pada George, suaminya. Jen menjadi seorang yang mandiri dan sangat membenci bisnis, karena ayahnya adalah seorang pebisnis. Ideologi feminis yang ditanamkan ibunya membekas pada Jen. Ibu dalam hal ini menjadi sarana penanaman ideologi, karena ketidak beradaan ayah ideologi feminis pada diri Jen menguat.Sebagaimana yang dikatakan Althusser bahwa ideologi diterapkan melalui ISA (Ideology States Apparatus) yang diantaranya media, sekolah, gereja, maupun keluarga. Sebaliknya dalam "Orang Ketiga", Anggia Syafitri tidak melibatkan kedua orang tua dalam perihal hidupnya melainkan sahabatnya, Kayla, yang berperan sebagai penyalur ideologi. Anggi seorang desainer muda di perusahaan Alvee. Peran kedua orang tua Anggi hanya muncul dan berpengaruh pada Anggi secara ideologis ketika Anggi membawa Rudi ke hadapan orang tuanya untuk mengenalkannya dan meminta restu untuk menikah (Hardini: 127).
Jen menjadi seorang pejuang lingkungan yang tergabung dalam Fighting for Survival. Jen tidak menyukai pekerjaan di belakang meja yang dianggapnya membosankan. Seorang perempuan yang dikategorikan berideologi feminis tentunya tidak akan sepenuhnya menyerahkan perihal hidupnya kepada orang lain, terlebih lagi pada laki-laki. Akan tetapi, Jen bergabung dengan Fighting for Survival dikarenakan keberadaan Gavin, ketua organisasi yang kemudian menjadi kekasihnya (Townley: 17). Sementara Anggi bekerja bukan karena keberadaan siapapun, meski pada akhirnya dia semakin bersemangat untuk bekerja karena ada Angga, lelaki yang menjadikannya selingkuhan (Hardini: 47).
Kedua perempuan ini berhasil mencapai kesuksesan dalam karirnya, memiliki tempat tinggal yang cukup nyaman, penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari, juga komunitas dimana keduanya dapat bergaul. Komunitas Jen terbentuk karena campur tangan ibunya sebagai seorang presiden direktur sebuah perusahaan konsultan bernama Green Futures. Sedangkan Anggi membentuk komunitasnya berdasarkan pekerjaan yang ditekuninya di Alvee.
Baik Jen maupun Anggi keduanya merasa nyaman akan kemapanan hidupnya. Meskipun demikian, Jen merindukan antusiasme dan tantangan yang memunculkan gairah seperti pada pekerjaan sebelumnya di Fighting for Survival (Townley: 28). Anggi merasakan ketegangan justru pada saat menjalankan misi mendekati Angga, sehingga tidak ada hubungan dengan kemandirian. Dengan demikian jika ditelaah terdapat paradoksikal mengenai slogan “being single and happy” karena pada kedua cerita tersebut para tokoh perempuan, Jen dan Anggi, mengejar cintanya dan akhirnya demi mendapatkan cintanya mereka melakukan banyak hal.
Chick-lit dan cinta
            Apabila melihat pada kedua chick-lit yang saya kaji, dapat dilihat bahwa permasalahan mengenai cinta tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan para perempuan. Meskipun perempuan lajang yang tinggal di perkotaan hidup mapan dengan segala stabilitasnya, kebutuhan akan perhatian dari laki-laki tetap dibutuhkan. Pada chick-lit dalam menggambarkan pencarian cinta, perempuan menggunakan segala cara sehingga dia yang memegang peranan. Akan tetapi pada akhirnya, lelaki yang mengambil alih kondisi tersebut ketika perempuan mendapatkan cintanya.

Referensi
Bethman, Brenda. Chick-Lit Revisited: Bridget Jones Meets Jessica, 3. Feminist ReWritings in Austrian Literature Panel, Women in German Annual Conference.
Donadio, Rachel. The Chick-Lit Pandemic. March 19th, 2006. The New York Times.
Hardini, Yuditha. Orang Ketiga. 2010. Jakarta: GagasMedia.
Hooten, Jessica Lynice. In the Classroom or in the Bedroom. Chick-lit: The New Woman’s Fiction. 2005. Routledge Publishing.
http://freshfiction.com/author.php?id=11429, diakses pada tanggal 27 Oktober 2011 pukul 5.05 WIB
Strinati, Dominic. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. 2004. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Taufiqurrohman, Muhammad. Produksi Budaya Chick-Lit Indonesia. 2010. Jakarta: FIB UI.
Townley, Gemma. Learning Curves (Misi Rahasia). Alih Bahasa: Utti Setiawati. 2006. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar