Teknologi yang
berkembang semakin pesat dari waktu ke waktu mendorong terjadinya keberlimpahan
teks dalam setiap penggunaannya. Kehadiran teks—gambar, ikon, animasi, suara, hyperlinks, bentuk, warna dan ukuran,
dsb—dalam fitur-fitur yang muncul di berbagai aplikasi suatu teknologi pada
akhirnya akan menuntut kemampuan dan pemahaman si pengguna. Kemampuan yang dibutuhkan
tidak hanya dalam membaca setiap teks yang muncul bersamaan melainkan juga
memahami dan mengoperasi teknologi tersebut. Hal ini tidaklah rumit bagi
orang-orang yang terbiasa menggunakan teknologi dalam setiap aktifitasnya
seperti mengoperasikan komputer dan perangkat multimedia, berkirim email,
mendengarkan musik melalui MP3 player, mengirim pesan singkat—SMS dan/atau MMS—dengan
menyisipkan ikon atau gambar tertentu, atau mengoperasikan perangkat rumah
tangga. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengoperasikan semua teknologi
tersebut secara bersamaan karena mereka telah menjadi ‘terintegrasi’ dengan
teknologi yang digunakannya.
Teks
dapat muncul dalam berbagai bentuk dan tidak harus selalu berupa tulisan yang
terdiri dari deretan huruf atau karakter. Kemunculan teks pun tidak hanya
terbatas pada buku atau segala sesuatu yang memiliki huruf atau karakter, sebab
teks tersebar dan telah menjadi bagian dari kehidupan. Ragam bentuk teks
dipengaruhi oleh media yang digunakan serta aktifitas para penggunanya. Keterkaitan
tersebut sejalan dengan Mikhail Bakhtin, dalam Francis[1], yang
menyatakan bahwa all text are read in the
context of a cultural history of textuality-so that a reader or viewer or
listener understands a specific text by comparing and contrasting it with her
or his experience of all other texts (2005: 1). Apabila dikaitkan pada
bentuk teks yang muncul dalam teknologi seperti tablet, pemahaman pengguna pada
saat mengoperasikan media tersebut tentu
akan disebabkan oleh informasi atau teknologi manual yang diadaptasi dalam
teknologi tersebut.
Misalnya, penggunaan stylus sebagai pena dalam
teknologi layar sentuh merupakan adaptasi terhadap pena dalam penulisan manual.
Akan tetapi, terdapat sebuah perangkat yang mengadaptasi teknologi lain secara ‘cultural history of textuality’, yaitu
tablet. Perangkat tablet tersebut mengadaptasi ‘clay tablet’—sebuah media
tulis yang terbuat dari lempengan tanah liat yang muncul dan berkembang di
kawasan Sumeria, Assyria dan Babylonia.[2] Sehubungan
dengan media tulis yang berasal dari tanah liat, maka jenis teks yang
dibubuhkan tidak dapat dibuat sebagaimana membuat teks dalam selembar kertas. Dengan
demikian jenis dan bentuk teks yang dibubuhkan dalam ‘clay tablet’ cenderung berupa tanda-tanda yang dipahat menggunakan
alat pahat atau pisau ukir. Semua unsur—ukuran, bentuk, ketebalan lempengan, ornament—yang
terdapat dalam media tulis tersebut kemudian memiliki teks tersendiri dan
membutuhkan kemampuan tertentu untuk memahaminya. Baik ukuran maupun bentuk
dari ‘clay tablet’ pada masa itu beragam sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Demikian karakteristik ‘clay tablet’ begitu pula peragkat tablet kontemporer
mengadaptasinya. Ukuran dan bentuk tablet yang muncul di pasaran sangat beragam
dan bergantung pada fungsinya masing-masing. Adaptasi berikutnya adalah
tanda-tanda yang dipergunakan berupa tanda mau pun ikon yang cenderung berbentuk
kotak sebagaimana tanda dalam ‘clay
tablet’. Teks yang ditampilkan pada perangkat tablet kemudian menjadi suatu
teks yang multimodal. Dr Chan Yue Weng, seorang pakar linguistik dari SEAMEO
Singapura, mengutip Kress dan Van Leeuwen[3]
bahwa multimodal texts have more than one
mode, such as print and image or print, image, sound and movement. A multimodal
text is often a digital text but can be a book, such as picture book,
information text or graphic text. Jika demikian maka seluruh bagian dari
perangkat tablet tersebut merupakan teks yang membutuhkan suatu cara agar dapat
menggunakan perangkat tersebut.
Teks yang multimodal dapat dipahami melalui pembacaan
dan pengalaman secara terus menerus sehingga pengguna dapat mengolah teks
tersebut dengan mudah. Proses semacam ini diperlukan sebab cara pembacaan teks
multimodal dalam bentuk digital berbeda dengan pembacaan teks dalam bentuk buku
cetak. Pembacaan terhadap teks pada buku cetak cenderung linear atau satu arah—perhatian
pembaca berpusat pada satu teks yang terdiri dari deretan kata. Sementara itu
pada teks berbentuk digital pembacaan terjadi secara acak sebab semua teks
terpapar dengan bebas dan bergantung pada pengguna untuk ‘membacanya’.
Melek Teknologi = Awas
terhadap Teks
Teknologi
selalu memiliki dinamika yang cepat sehingga membutuhkan kemampuan pengguna
tidak hanya sebagai ‘stupid user’—sekadar pengguna—tetapi juga sebagai
manipulator dari teknologi tersebut. Keberadaan
teks dalam beragam media dapat mempengaruhi cara pembacaannya namun tetap
memiliki keterikatan dengan informasi atau pengetahuan akan teks yang telah
dimiliki sebelumnya. Keberadaan perangkat tablet yang mengadaptasi ‘clay tablet’ menjadi sangat fenomenal
karena kemampuannya untuk menampung teks yang berlimpah. Keberlimpahan semacam
ini terbukti karena teks yang terdapat di dalamnya tidak hanya terbentuk dari
satu unsur seperti linguistik saja melainkan dari berbagai hal. Unsur pembentuk
teks multimodal selain linguistik adalah visual, gestural, spatial dan audio[4]
sehingga pembacaannya menjadi tidak linear melainkan non-linear—semua sekaligus.
Oleh
karena itu, ketika seorang pengguna suatu teknologi apa pun, khususnya para
pengguna tablet, melek terhadap teknologi yang dipergunakannya maka dia menjadi
seorang yang terpapar pada teks. Dengan demikian dia harus awas dan memiliki kefasihan
terhadap teks yang diperolehnya melalui pengalaman yang terus menerus. Kemampuannya
dalam memahami teks multimodal kemudian akan mendorongnya untuk memproduksi teks
baru menggunakan perangkat teknologi yang dimilikinya.
Nenden Rikma Dewi
[2] Lihat Eleanor Robson dalam artikelnya yang berjudul “The Clay Tablet Book in Sumer, Assyria, and
Babylonia dalam “A Companion History
of Book” (2007).
[3] Reading in a Multimodal World: revisiting Theories and
Processes” merupakan sebuah artikel yang disajikan pada Indonesia International
Conference on Linguistics, Language Teaching, and Culture (2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar