Jumat, 13 Mei 2011

Aku & Buku

"Kalau sekarang budaya membaca di Indonesia dipermasalahkan, dimana masyarakat lebih suka menonton televisi daripada membaca buku, bukankah itu juga sebuah budaya?"

Begitulah lebih kurang dosenku tercinta membicarakan hal yang menurut orang lain sangat membosankan. Membaca adalah hal yang sebetulnya mudah dilakukan tapi, entah kenapa banyak orang bahkan yang mengaku pelajar/mahasiswa pun terkesan alergi untuk membaca.

"Mungkin karena orang Indonesia g bisa baca font 10, makanya tulisan harus dibuat besar-besar. Spanduk yang tulisannya cuma itu-itu doang selalu dibaca berkali-kali dan mereka teriak-teriak dengan apa yang tertulis pada spanduk itu tanpa mengerti maksud atau maknanya."

Aku dan kawan-kawan tertawa. Logikanya kan memang begitu, setiap kali ada unjuk rasa pasti mereka akan menyerukan hal yang tertulis dengan penuh semangat, tapi ketika diminta untuk membaca buku teks untuk kebutuhan akademisnya, pasti ogah. Apalagi kalau buku itu tebalnya sampai 10cm, cukup tebal untuk dijadikan alas kepala alias bantal atau ganjal pintu  hhe. Teman-teman mahasiswa sastra d kampus MIRACLE dg minat sastra mungkin sudah shock waktu liat buku Literature-nya Perrine dan Theory since Plato yang luar biasa dahsyat tebelna. (mun dikilo lumayan hha).

Aku, alhamdulillah, tidak mengalami sindrom buku tebal (ngantuk, males, bosan). Allah swt kasih aku kesanggupan untuk melahap segala jenis buku dengan berbagai ketebalan dan masih merasa lapar. Sebennarnya ini atas andil kakek tercinta yang meninggal ketika aku masih siswa SMP. Sebagai seorang sastrawan, budayawan, seniman, pejuang, guru dan dosen, kakek menguasai beberapa bahasa asing selain berbagaia bahasa daerah. Bahasa Jerman, Belanda, Inggris, Jepang, Cina dan Arab fasih dituturkan. Karena kemampuannya berbahasa, rumah kami dipenuhi banyak buku, majalah atau koran dengan berbagai bahasa.

Sebagai sastrawan, seniman & budayawan Sunda, beliau pun banyak menghasilkan karya seni yang kemudian menurutku tidak menarik, saat itu. Anak kecil mana yang suka dengan pentas drama atau kawih Cianjuran atau mamaos??? Beliau selalu membiarkan aku mengacaukan tumpukan koleksi bukunya dan selalu menyodoriku buku baru.

Ulang tahunku yang ke-4, beliau sudah menyelesaikan sebuah sendratari berjudul SANGKURIANG. Buku naskahnya tipis, bersampul kuning, dengan gambar seorang wanita dan seorang pria. Beliau berpikir aku tertarik dengan naskah-naskah Sunda ketika melihatku membaca naskah miliknya, padahal aku sama sekali bingung dan so' tahu dengan apa yang ada dalam buku itu. Kapanpun kakek mengajakku jalan-jalan, pasti selalu saja menghadiahi buku baru yang pasti akan selalu ditanya tentang isinya setelah aku membaca.

Sangat disayangkan ketika seorang pelajar ataupun mahasiswa malas membaca, berlepas dari apa yang diperintahkan Islam tentang Iqro, membaca adalah sebuah kebutuhan. Dosen-dosenku tercinta selalu "menyiksa"ku dengan banyak teks bahasa inggris pula padahal semaasa SMA teks tidak pernah diberikan secara utuh.

Aku berharap para pengajar bahasa dan sastra di sekolah menengah mulai memperkenalkan karya-karya sastra supaya mereka tidak mengalami shock therapy ketika harus membaca teks sastra. Bukan berarti mereka dengan minat non-sastra bisa santai karena tidak harus berurusan dengan teks, selama menjadi manusia yang selalu butuh hal yang baru, BUKU bisa menjadi salah satu cara memberikan PANDANGAN yang BARU akan hal-hal yang SUDAH dianggap BIASA menjadi TIDAK BIASA.

BUKU JENDELA DUNIA, AYO MEMBACA!