Minggu, 24 Juli 2011

Psyche [3]


Semua ritual itu tidak bermakna kan? Jika kau bertanya padaku, ritual itu bermakna selama ada keyakinan dalam hatimu. Kenapa aku harus melakukannya? Karena itu yang menjadi keyakinanmu dan keluargamu. Boleh jika aku mencoba menjalani yang lain? Silakan saja jika itu maumu. Tapi untuk saat ini aku hanya akan mencobanya diam-diam.
Memegang sebuah rosario tidak ada bedanya dengan memegang sebuah tasbih, lalu apa yang membedakannya? Keduanya memiliki kesamaan bentuk tetapi nilai yang berbeda bergantung pada keyakinan dalam hatimu. Membakar dupa dan menabur bunga itu bodoh dan sia-sia. Itu menurutmu, tapi mereka yang memiliki keyakinan akan hal tersebut akan mengejarmu jika mendengarmu merendahkan mereka. Tidak, aku tidak merendahkan. Hanya saja  buatku tampak sia-sia.
Lalu apa sekarang kau menemukan mana yang lebih nyaman untuk kau jalani? Belum. Lihatlah kedua orang tuamu itu, mereka begitu taat pada keyakinannya, bicaralah dengan mereka. Kau pikir mudah bicara pada mereka setelah sekian lama aku bungkam? Entahlah, tidak ada salahnya dicoba. Bagaimana aku  harus bertanya? Tanyakan apapun yang kau mau.
Kamarku adalah area terlarang untuk semua orang terkecuali aku. Saat ini di hadapanku terdapat benda-benda yang mewakili nilai spiritual. Sederetan patung kecil Budha Ju Lai, White Madonna, Ganesha dan Krishna. Sebuah mangkuk kecil dengan tiga batang dupa menancap di bagian tengahnya. Apa aku terlihat seperti seorang yang tidak masuk akal? Hahaha, kau tidak pernah masuk akal.
Menggerakkan tangan kananku seperti seorang penganut nasrani yang taat atau seperti seorang budhis dan hindi yang taat atau bahkan seperti seorang muslim dalam setiap gerak ritualnya. Semuanya masih belum mampu memberikan sebuah gambaran tentang ketenangan padaku. Mungkin jika aku memberi sedikit jeda untuk mempraktikan setiap ritual akan menjadi lebih mudah.
“Nessa, ayo turun dan makan malam.” Suara seorang wanita paruh baya, satu-satunya wanita yang tinggal di rumah selain aku. Menggubris permintaannya tidak pernah aku lakukan dengan sukarela, tapi dengan sebuah keterpaksaan. Jika tidak ada dia, kau mati kelaparan. Iya aku tahu itu, tapi bukan berarti aku harus mengikuti semua kemauannya. Setidaknya berbaik hatilah sedikit, dia tidak lagi muda. Ya ya.
“Sebentar lagi, Oma.” Jangan salahkan aku terus jika selalu berteriak-teriak, aku hanya membalas sikapnya padaku. Dia teriak dan kau teriak, semua orang teriak. Ya. Mengalah sedikit jangan seperti seorang anak kecil ingusan. Tidak begitu. Ya memang begitu.
Oma membenahi kain penutup kepalanya dan menarik sebuah kursi untukku duduk. Dia termangu menungguku. Dia sayang padamu, Gin. Aku tahu. Bersikap manislah. Ok.
Semangkuk bubur berisi sayuran dan cacahan daging lengkap dengan roti terhidang di depanku. Uap dari mangkuk itu menghempaskan aroma wangi menggelitik hidungku. Tiba-tiba aku lapar. Makanlah, dengan begitu kau sudah baik padanya. Sewaktu aku menyendok bubur, Oma mengambil roti di keranjang dan membaginya menjadi dua. Sebagian yang lain dibiarkannya di keranjang, sementara sisanya dia sodorkan untukku.
“Makan yang banyak, jangan smpai Nessa sakit.” Parau. Dia terlalu tua untuk mengurusimu. Lalu apa aku harus memintanya pergi atau aku yang pergi? Tidak, mungkin itu tidak perlu.
“Makanan ini lezat.” Ujarku menanggapi perkataanya. Oma hanya tersenyum sambil menatapku makan. Rasanya sangat tidak menyenangkan ketika seseorang menatapmu saat sedang makan. Bukankah itu tidak sopan? Tapi dia orang tua, ada pengecualian untuknya. Hah, sama saja tidak sopan.
“Baguslah Nessa menyukainya. Makan yang banyak, Oma membuatkan sepanci penuh untukmu.” Menyodorkan kembali sisa roti tadi kepadaku.
“Makasih Oma.” Aku menerima roti itu dan memakannya. Saat aku mengambil roti itu, aku baru menyadari betapa keriput tangannya. Tangan itu lelah mengurusimu. Aku tidak pernah memintanya begitu. Memang, tapi itu karena dia menyayangimu. Aku melihat wajahnya. Oma pasti dulu seorang gadis manis, alisnya masih tetap hitam meski dihiasi beberapa yang memutih.
Oma muslim yang taat, jika kau tidak mau berbicara dengan kedua orang tuamu aku rasa kau bisa berbicara padanya. Mmm, aku coba tapi tidak akan untuk saat ini. Bulan ini sungguh berat. Semua laporan yang menumpuk di mejaku harus segera tuntas, sisa tunggakan dana pendidikan pun harus segera aku lunasi. Kau bisa minta tolong Nail. Entahlah, keuangan dia saat ini sedang tidak baik.
Teh chamomile dituangkan Oma dalam cangkirnya, aroma minuman itu menenangkan. Oma menghirupnya perlahan. Uap panas membuat kabut tipis pada kacamatanya. Aku perhatikan gerak-geriknya ketika melepaskan kacamata dan membersihkannya dengan ujung penutup kepalanya. Dia tersenyum padaku saat memergokiku menatapnya. Ku rasa kau sayang padanya. Dengan caraku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar