Selasa, 19 Juli 2011

Psyche [2]


Berdiri di depan sebuah cermin, mengamati setiap detil wajahku. Bayangan itu melakukan seperti apa yang aku lakukan, tetapi sebenarnya siapakah yang nyata?
Kau tidak jelek. Tapi, matamu yang dulu bersinar terang penuh gairah sepertinya mulai meredup. Coba lihat garis tipis di bawah matamu itu, juga kantung mata dan bayangan hitamnya. Aku tahu semua itu, tapi yang nyata dan hidup dalam realita itu siapa? Aku atau dia? Kau atau dia, jawabannya tidak penting. Bukankah saat ini kau mampu merasakan banyak hal? Apakah perasaan itu menunjukkan siapa yang nyata? Bukan, tapi menunjukkan bahwa kau hidup.
Bayangan di sana seolah menatapku curiga, sinar matanya membuat bulu kudukku merinding. Aku tahu mata itu milikku tetapi tatapannya begitu tajam. Mata siapakah itu sebenarnya? Mata seseorang yang tidak pernah bisa kau bohongi seumur hidupmu.
Suara di luar kamar begitu sunyi, dentang jam menunjukkan hampir tengah malam. Hembusan angin masuk ke dalam ruangan membawa sentuhan ringan di wajah dan rambutku.  Tirai dan kelambu bergoyang kecil disapa angin lalu. Pandanganku kembali teralihkan pada bayangan di hadapanku.
Bukan saatnya kau mengasihani dirimu seperti ini. Kau harus buktikan bahwa apa yang mereka sangka itu hanya bualan dan tuduhan kosong. Tapi bagaimana jika apa yang mereka duga itu memang benar, bahwa aku memang berbeda. Lalu apa salahnya menjadi beda? Tidak salah memang tapi aku takut mereka tidak dapat menerimaku. Jika mereka tidak bisa menerimamu, cari saja mereka yang mau.
Terdengar langkah kaku berhenti di balik pintu kamarku. Sejenak aku menoleh mencari siapa yang berdiri di depan pintu itu. Ketukan pelan tanpa panggilan apapun. Kursi tempatku duduk berderit pelan saat aku bangkit. Ketukan itu terdengar lagi memaksaku menghampirinya meski malas.
“Jendela kamarmu belum kau tutup dan kamarmu masih sangat terang, jadi aku memberanikan untuk kemari. Apa aku mengganggumu?” Pria ini dulu adalah orang yang membuatku jatuh hati, tapi sekarang aku justru merasa kasihan padanya.
“Tidak. Aku memang masih belum mengantuk. Ada apa?” Suaramu itu, cobalah sedikit lebih terdengar lebih berperasaan. Aku kasar karena lelah, lagi pula kenapa dia harus datang tengah malam begini.
“Kau mau kita berbicara begini?” aku tahu dia berharap aku mengundangnya masuk, jadi aku melebarkan pintu dan memberinya jalan. Kaki kanannya melangkah masuk, dia tampak kikuk. Kepalanya menoleh kiri kanan mencari tempat untuknya duduk.
“Duduklah di kursi depan cermin itu. Aku tidak keberatan.” Pintu kamar aku tutup dengan membiarkannya sedikit terbuka. Kelambu di ranjangku bergoyang lagi, aku duduk di ujung tempat tidur menjaga jarak dengannya.
Kau tidak perlu bersikap sekasar dan sedingin itu padanya. Cukup hati-hati saja.
Kepalanya masih tertunduk manatap lantai kamar, entah apakah dia kesulitan mencari alasan untuk menemuiku di tengah malam atau memang sedang kesulitan mengutarakan apa yang begitu mengganggunya. Tangan kanannya mengepal membentuk sebuah tinju, tetapi kelihatan sangat lemah. Kepalan tinju itu ditutupi dengan tangan kiri seolah ingin menenangkannya.
Ayolah tanyakan kenapa dia datang! Aku tidak mau, biarkan saja dia yang berbicara terlebih dulu. Kau ini, semakin cepat dia bicara semakin cepat dia keluar dari ruang pandangmu. Hhh, baiklah.
“Jadi...ada apa?” mencoba melunakan suaraku. Aku yakin dia bisa merasakan keterpaksaan itu dalam suaraku.
“Apa semua ini memang harus diakhiri seperti ini?” getaran suaranya dalam, rasa bersalah akan sesuatu yang bahkan aku belum tahu kenapa perlahan merayapi hatiku. Tapi, aku tetap diam.
“Gin, apakah kau benar menginginkan aku pergi dan melupakanmu?” suaranya semakin dalam, mungkin terlalu dalam sehingga dentang suara jam mengalahkannya.
Nah, sudah ku duga dia memang ingin membicarakan itu. Jawablah!
“Aku tidak bisa lagi menjalani hubungan ini, terlalu menyakitkan menemukan sebuah ikatan yang penuh kepalsuan.” Setengah mati aku berusaha menghindari tatapan matanya.
Jawablah dengan baik, jangan biarkan amarahmu itu membuatmu semakin terluka dan menyesal. Aku tahu itu, diamlah.
“Kau keterlaluan, apa sebenarnya yang kau mau? Hatiku tidak mungkin lagi kau miliki, jadi berhentilah berangan-angan.” Kedua tanganku mulai gemetaran, ujung kelambu menjadi tempatnya bergantung. Mataku terasa panas, detak jantungku terasa semakin cepat. Yang ku dengar hanyalah desahan nafas, aku mengintip ke arahnya.
Jangan menangis, dia sudah menyakitimu tapi jangan terlihat lemah dimatanya.
“Gin, aku salah, tetapi apa aku tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua untuk mncobanya lagi?”
“Maaf.”
Leroy berdiri menghampiriku. Sekarang kau harus sangat hati-hati, berdirilah. Aku tidak mau mendengarmu lagi, diamlah ku mohon. Tanpa aku sadari dia sekarang berlutut di depanku. Tangannya diangkat perlahan menyentuh lenganku, dan aku tidak bereaksi apapun. Ginessa! Anehnya tanganku terasa sangat kaku seolah terikat pada sebuah bongkahan batu. Sialan kau, Ginessa!
Aku tidak mampu menggeser tubuhku meski sedikit saja, terpancang tanpa daya. Leroy menundukkan kepalanya di pangkuanku, sementara itu aku tetap mematung diam. Tuhan! Ginessa, sadarlah! Aku memerintahkan kedua tanganku bergerak tapi sia-sia, tidak ada tenaga. Dia tengadah dan menaikkan kepalanya mendekati wajahku. Ah kalian ini brengsek!
Mata kami bertemu dan kesedihan berdiam di dalamnya.
“Ginessa, maafkan aku.” Leroy berbisik di telingaku. Ingatlah apa yang dia pernah lakukan jadi berhati-hatilah! Apapun katamu aku tidak berbuat apa-apa. Dia menyisipkan jemari tangan kanannya dalam rambutku, mencoba menarik nafas pun tiba-tiba saja sangat berat. Dapat aku dengar nafas yang juga berat di sampingku, jadi aku sedikit memiringkan kepalaku dengan susah payah mencoba menghindarinya.
Leroy menyadari gerakan tiba-tiba dan kaku itu, bibirnya kini menyentuh bibirku. Hangat. Sialan! Aku ingin ini, tapi aku juga tidak mau sakit lagi. Jadi hentikan, perintahkan kedua kakimu untuk berdiri dan kedua tanganmu itu menjauhkan kepalanya darimu. Tidak bisa!
Bibirnya hanya menempel lembut, kelembaban dari nafasnya membuat wajahku memanas. Aku memalingkan perlahan kepalaku, tetapi dia menahannya dan mendorongku ke belakang perlahan.Ginessa, dasar jalang! Tolong aku, aku tidak bisa menolaknya.
“Gin, aku masih ingin bersamamu.” Dia ada di hadapanku tetapi suaranya masih terdengar terlalu jauh. Aku mengangguk perlahan. Kau ini apa-apaan? Entahlah aku bingung. Leroy mencium keningku dan menyentuh pipiku, aku ragu apakah ini nyata atau hanya khayalanku. Ini nyata! Bajingan itu ada di atas tubuhmu! Seolah tersadar aku mengerang perlahan, tetapi erangan itu membuatnya memelukku semakin erat.
“Lee, hentikan.” Ahhh akhirnya suaraku bisa terbebas. Kedua tanganku mulai dialiri tenaga dan mendorongnya dari atasku dengan hanya bertumpu pada punggung aku kesulitan untuk bangun. Dorong bajingan itu dan seret dia keluar!
“Gin, jika kau memang ingin aku pergi dan lupakan keberadaanmu itu akan terpenuhi. Hanya saja biarkan aku merasakan keberadaanmu sebentar saja.” Kini suaranya terdengar nyaring tetapi mengiba.
Tidak, Gin! Jangan berikan apa yang dia mau!
“Lee, aku mohon.” Leroy bangkit dan menarik dirinya untuk berdiri. Aku pun bangkit perlahan. Dia berbalik tanpa bicara sepatah kata pun.
Aku tidak mau dia pergi, belum bisa, jangan sekarang. Sudahlah, kau akan menemukan yang jauh lebih baik. Tapi tidak mungkin aku membuangnya dari ingatanku begitu saja. Tidak begitu saja, biarkan ingatanmu tentangnya hilang tertutup kenangan baru. Baiklah.
Seketika langkahnya berhenti, ada orang lain di depan pintu kamar. Leroy membuka lebar-lebar pintu itu dan menarik nafas sangat dalam, sampai aku di kejauhan pun merasakan kepedihannya. Seorang perempuan berbalut pakaian tidur berwarna biru lembut, tangannya membawa setumpuk selimut dan bantal. Dia tidak bersuara, hanya diam dan membiarkan Leroy berlalu. Dia tersnyum dan menutup pintu kamarku. Aku diam hampir tanpa ekspresi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar