Jumat, 13 April 2012

Sastra Daerah: Sastra Sunda



Sastra Indonesia modern sebagai bagian dari budaya kontemporer tidak dapat sepenuhnya bisa melepaskan diri dari nilai-nilai setempat dan tradisional. Nilai-nilai setempat dan tradisional tersebut paling kentara pada karya sastra local (Mahmud, 1986: 24). Jika demikian maka sastra Sunda pun merupakan bagian penting sebagai warna lokal. Menurut Mahmud (1986) warna lokal Sunda muncul dengan jumlah besar setelah tahun 1950-an. Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah sastra Sunda tersebut harus selalu berbahasa Sunda atau diperkenankan menggunakan bahasa Indonesia dengan tetap menerapkan unsur-unsur lokal kesundaan?

Rosidi menyebutkan periodisasi sastra Sunda berdasarkan pada kronologis kemunculannya diawali oleh Jaman Buhun dengan menempatkan carita pantun di dalamnya. Jaman Kamari merupakan periodisasi pada masa penjajahan dan pada masa ini hanya karya Haji Hasan Mustapa yang dapat bertahan. Kebangkitan sastra Sunda setelah kemerdekaan kemudian disebutnya sebagai Jaman Kiwari (1983: 10-31).
Untuk membahas sastra Sunda ini, sebuah buku kumpulan cerita pendek berjudul “Awewe Dulang tinande” karya Tjaraka dipilih. Tjaraka merupakan nama pena dari Wiranta, seorang sastrawan Sunda yang menjdapat gelar perintis kemerdekaan. Karya-karya kemudian banyak dimuat pada sebuah majalah lokal berbahasa Sunda, Mangle. Di dalam “Awewe Dulang tinande” terdapat sembilan belas cerita pendek berbahasa Sunda yang diambil dari Mangle dengan edisi terpisah.
Bahasa yang digunakan di dalam setiap penuturan pada cerpennya tidak memilih bahasa yang rumit sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat awam. Meskipun demikian, undak usuk basa sangat diperhatikan. Pada setiap cerita pendek yang ditulisnya, Tjaraka menggambarkan dengan jelas keadaan sosio-kultural masyarakat Sunda dari tiga bagian yaitu masa sebelum pendudukan Jepang (zaman normal), saat pendudukan Jepang serta setelah Indonesia merdeka. Oleh karena itu karya-karya Tjaraka terasa dekat dengan kehidupan masyarakat Sunda dan tidak sekadar fantasi belaka, terlebih lagi banyak dari cerita tersebut dilatarbelakangi oleh pengalaman hidupnya sendiri
Tjaraka yang sangat kental menggambarkan kondisi masyarakat Sunda pada masa-masa kolonial kemudian dapat digolongkan kedalam genre sastra poskolonial. Selain bahasa yang digunakan, Tjaraka pun memaparkan dengan jelas figur-figur kaum penjajah melalui tuturan-tuturan para tokoh yang terdapat dalam cerita pendek tersebut. Dengan demikian karya-karya Tjaraka dapat dimasukkan ke dalam karya dari Jaman Kamari.
Sehubungan dengan perkembangan sastra Sunda, sebuah penghargaan diberikan kepada baik perseorangan maupun lembaga yang dianggap telah berjasa dalam pengembangan bahasa dab sastra daerah. Penghargaan ini disebut Hadiah Sastra Rancage yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. Kumpulan cerita pendek “Awewe Dulang Tinande” pun memperoleh penghargaan tersebut pada tahun 1998, 15 tahun setelah wafatnya Tjaraka. Penghargaan tersebut rupa-rupanya bermaksud untuk membangkitkan kembali sastra Sunda.

Daftar Pustaka
Mahmud, Kusman K. 1986. Sastra Indonesia dan Daerah. Bandung: Penerbit Angkasa.
Rosidi, Ajip. 1983. Ngalanglang Kasusastraan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tjaraka. 1997. Awewe Dulang Tinande. Jakarta: Giri Mukti Pasaka.
Yayasan Kebudayaan Rancage. 1998. Hadiah Sastera "Rancage" 1998.

1 komentar:

  1. Menarik juga yaa...

    *blogwalking dan exchange link visit back http://catatanhandy.blogspot.com/

    BalasHapus