Kamis, 12 April 2012

Sastra Anak dan Komik: Diary of A Wimpy Kid



            Sastra anak di dunia sulit diketahui awal kemunculannya karena sejak abad ke-15 telah ada dua cerita, La Morte d’Arthur dan Robin Hood, yang tidak diperuntukkan bagi anak-anak tapi justru sangat disukai anak-anak. Sementara cerita bergambar bagi anak-anak baru muncul pada abad 17 dengan adanya karya Jan Amos Komensky berjudul “Orbis Pictus”. Di Indonesia sendiri sastra anak sulit dilacak keberadaannya karena kisah yang diangkat lebih cenderung pada legenda-legenda dari tiap daerah. “Ketiadaan” novel anak di Indonesia membuat mereka memilih menjadi penikmat novel terjemahan dan komik.

            Dunia anak bukan dunia yang statis karena mereka memiliki kemampuan untuk keluar dari aturan yang mengikat mereka dengan berkhayal sehingga mereka lebih memiliki keberanian dalam kepolosannya. Mereka dapat belajar dari dan melalui karakter dalam cerita. Terlebih lagi jika dalam pemaparan cerita tersebut terdapat ilustrasi dari peristiwa tertentu yang terjadi. Menurut Wahidin[1] (2009) berdasarkan kehadiran tokoh utama dalam sastra anak, maka terdapat tiga bagian yang dapat membedakannya yaitu tokoh utama adalah benda mati, makhluk lain selaun manusia, dan manusia itu sendiri.
            Novel “Diary of A Wimpy Kid” merupakan sebuah novel yang tidak hanya diperuntukan bagi anak-anak tetapi juga dibuat oleh seorang anak laki-laki dakam bentuk catatan harian. Dalam novel tersebut, yang sebenarnya adalah catatan harian seorang tokoh bernama Gregory Heffley seorang bocah berusia lebih kurang sebelas tahun. Novel ini terbit pertama kali tahun 2007 dan segera diikuti oleh sekuelnya hingga kini  terdapat tujuh seri. Hal yang menarik dalam novel ini adalah jenis ilustrasinya yang menyamai komik. Dengan demikian membaca novel ini sekaligus membaca komik.
            Novel ini memuat banyak ilustrasi dari setiap kejadian yang dianggap penting oleh sang tokoh utama. Menurut Petersen graphic narratives express ideas by transforming them into a story where the actions of characters become a way of describing experiences and sensations beyond one’s own lived experience (1961: xvi). Bentuk komik tentunya sangat diminati anak-anak karena mereka cenderung lebih memahami secara visual. Dengan demikian penggabungan antara bentuk prosa dan komik menjadi menarik pun karena Kinley menuliskan setiap peristiwa yang terjadi dari sisi kanak-kanak. Hal tersebut tentunya membuat para pembaca anak-anak merasakan kesamaan dalam dunia mereka serta tidak menggurui mereka dalam berbagai hal.
            Dalam membaca novel berilustrasi semacam ini, seseorang dapat secara langsung mengetahui atau memperkirakan kisah yang terjadi hanya dengan melihar pada bagian ilustrasinya saja. Terlebih lagi bagi para pembaca yang mengandalkan kemampuan visual, perhatian mereka akan secara spontan melihat bagian-bagian yang mencolok berupa gambar, huruf yang berbeda ukuran mau pun berbeda warna. Seseorang dapat tertawa atau terkesan hanya dengan melihat ilustrasinya saja tanpa harus membaca pemaparan ceritanya.
“Diary of A Wimpy Kid” kemudian menjadi bestseller di Indonesia sehingga diterbitkan berkali-kali dan menjadi salah satu pilihan bagi para pembaca anak-anak. Sayangnya novel berseri tersebut tidak dapat sepenuhnya dinikmati oleh sebagian pembaca, terutama pembaca dewasa. Hal tersebut disebabkan hilangnya esensi humor dalam narasi, baik pada prosa mau pun ilustrasinya, sebagai akibat dari penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, secara keseluruhan diterjemahkan atau tidak, karya ini patut diapresiasi karena telah memperkaya pilihan buku untuk dibaca anak-anak Indonesia.

Referensi
Kinney, Jeff. 2007. Diary of A Wimpy Kid. New York: Amulet Books.
Petersen, Robert. 1961. Comics, manga and graphic novels. California: Praeger.

1 komentar: