Senin, 09 Februari 2009

Rasisme dan Perbudakan sebagai Isu Moral pada Pidato Abraham Lincoln


Moral dan etika muncul dalam aspek kehidupan sehari-hari seseorang, tidak masalah apa status dan gendernya kedua hal tersebut seolah mengikatnya, sehingga apabila melewati batas yang dibuat oleh etika maka dia dianggap tidak bermoral. Moral selalu dilihat berdasarkan pelaku dan perbuatannya, apapun penyebab dibaliknya tidak terlalu dihiraukan. Pengajaran moral selalu ada dalam setiap kebudayaan dan belumlah beradab jika tidak berperilaku sesuai etika atau moral yang telah ditentukan oleh masyarakat. Maka oleh karenanya adalah lebih baik kita mengetahui apa yang dimaksud dengan moral dan etika tersebut. Moral adalah suatu keyakinan atas apa yang salah dan benar, sementara etika merupakan sebuah prinsip yang berasal dari kata ethos yaitu karakter atau kebiasaan.

Rasisme adalah permasalahan moral yang paling controversial di Amerika sejak dulu. Perbudakan merupakan satu hal yang tidak bisa diabaikan menjadi factor pendorong kkemajuan Amerika untuk menjadi satu Negara besar. Karena perbukan pula, bangsa Amerika dapat menyadari adanya permasalahan moral yang luar biasa. Masalah ini diungkit oleh  Presiden Abraham Lincoln setelah terjadinya perang saudara.
Pada kenyataannya Lincoln tewas dibunuh oleh seorang kulit putih ketika masih menjabat sebagai seorang presiden Amerika Serikat ke-16, saat ini pun masalah rasisme masih terjadi di berbagai belahan Negara Amerika Serikat meskipun tidak seburuk yang terjadi pada masa-masa Lincoln dan setelahnya. Penulis merasa tertarik untuk melihat pidato pengangkatan Lincoln sebagai sebuah “lip service” terhadap pemilihnya ataukah benar adanya berasal dari hati nuraninya yang tidak menghendaki perbudakan demi kesetaraan derajat.

Manusia (man) dibekali akal (mind) sehingga dia dapat belajar banyak hal dari lingkungan sekitarnya dan menjadikannya menguntungkan bagi dirinya. Namun, lingkungan tempatnya tinggal memiliki aturan yaitu moral dan etika sehingga perilakunya dikontrol oleh kedua hal tersebut. 
Morality is a kind of policy or instrument: the moral agent is a centre of practical reason for whom morality is a means to a further end and whom altruism stands in need of an external (empirically describable) pay-off. [1]
The moral attitudes of blame and disapproval are neither merely feelings nor utilitarian strategies, but are deeply and essentially involved in the way we conceive of human action.[2]
…the image in contemplation is neither pleasurable nor painful; and it does not attract to itself either moral approval or disapproval.[3]

Perang saudara yang digenjarkan sebelum Lincoln diangkat menjadi presiden dan memberikan pidato pertamanya membuat penulis menjadi ingin tahu apakah peperangan tersebut memang terjadi karena adanya kesadaran untuk mengakhiri perbudakan atau hal-hal politis antara Partai Republik dan Demokrat.
Apprehension seems to exist among people of the Southern states that by the accession of a Republican administration their property and their peace and personal security are to be endangered.[4]
Diketahui sebelumnya bahwa dari Partai Republik-lah karir politik Lincoln mulai menanjak ketika menyampaikan pidato di Peoria dan mengangkat masalah perbudakan. Setidaknya dari yang penulis ketahui, Lincoln berhasil menjadi tokoh nasional dari partainya meskipun dia mengalami kekalahan ketika harus berhadapan dengan Stephen Douglas dari partai Demokrat.
Political theory is a dangerous sort of thinking: it is neither a science which tries to understand, predict and control the workings of nature, nor a pure philosophy which tries to define the character of thinking and of reality itself.[5]
Melihat dari sisi politik selalu memiliki dua sisi, dimana masing-masing sisi seolah berjuang untuk orang lain. Hal ini memunculkan perselisihan yang berujung pada peperangan dan kematian karena semuanya merasa paling benar. Mengatas namakan liberalism, nasionalisme, demokrasi, sosialis ataupun komunis membuat peperangan semakin buruk. Politik tidak hanya mempengaruhi bentuk pemerintahan saja tetapi juga kehidupan pribadi seseorang, dan hal ini bisa menjadi pemicu perang saudara.
Rasa kecintaan terhadap sesama dan bangsa membuat seseorang rela berkorban harta, waktu dan jiwanya. Lincoln pun mengalami hal yang sama pada saat menyampaikan pidatonya. Adanya perasaan senasib sepenanggungan membuat Lincoln maju untuk membela kaumnya dengan menghapuskan perbudakan di Amerika Serikat tetapi penulis melihatnya memiliki dualism pemikiran.
“I have no purpose, directly or indirectly, to interfere with the institution of slavery in the states where it exists….”[6]
Disebabkan oleh dualisme inilah penulis menganggap Lincoln memiliki tujuan atau dorongan yang samar, apakah dia murni terdorong oleh moralitasnya ataukah sebagai negarawan yang akan memperoleh dukungan jika mengangkat isu moral.
Dualisme ini pun tidak menguntungkan Lincoln dari segi ekonomi. Negara-negara bagian Selatan dan Utara memiliki pergerakan ekonomi yang berbeda, dimana Negara-negara bagian Selatan memproduksi tembakau, beras dan gula dengan harga murah, begitu juga pada produksi kapas. Sementara di bagian Utara, meskipun mereka merendahkan sistem perbudakan, mereka tetap ingin harga-harga produksi tetap rendah. Hal ini yang lalu menimnulkan kegoncangan ekonomi dengan adanya kampanye dan kritik untuk mengakhiri perbudakan. Lincoln menyadari ini dan menyinggungnya dalam pidatonya si dewan senat sebagai wakil dari partai Republik di Illinois.
This government cannot endure permanently half slave and half free.”[7]
Dengan menyampaikan pernyataan semacam ini, Lincoln ingin menunjukkan niat baiknya kepada seluruh konstituennya. Pidato di depan Senat ini sepertinya merupakan titik awal bagi Lincoln mengangkat isu rasisme dan moral. Lincoln berpikir bahwa satu bangsa tidak akan maju apabila warga negaranya hana sebagian saja yang merasakan kebebasan. Penulis merasa langkah ini tetap politis karena politisi-politisi lain menginginkan keseimbangan jumlah antara yang merdeka dan yang budak. Meskipun demikian, Lincoln membuat peperangan tidak lagi terhindarkan.  Bagaimanapun, Lincoln tetaplah seorang tokoh besar yang memimpin dengan penuh moral dan etika berdasarkan rasa cinta dan keadilan yang dimilikinya. Lincoln bukan mengharapkan musnahnya perbudakan tetapi berharap memiliki satu Negara utuh yang bersatu.
Tugas utama Lincoln adalah menjalankan dan menjaga kestabilan persatuan antara Utara dan Selatan khususnya. Berdasarkan sejarah pun, pada kenyataannya, Lincoln lebih peduli pada nasib warga kulit hitam dan caranya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan membuat Proklamasi Emansipasi. Dia membagi dua kubu untuk mengawasi pelaksanaan kosnstitusional tersebut, mayoritas dan minoritas.
…and we divide them into majorities and minorities. If minority will not acquiesce, the majority must, or the government acquiescence on one side or the other. [8]
Penulis menganggap dengan adanya pembagian ini, setidaknya Lincoln menginginkan kesetaraan posisi dan ras antara hitam dan putih menjadi mungkin, sebab dia memberikan kulit hitam untuk membuat sebuah persetujuan. Atau mungkin jika tidak membuat sejajar Lincoln berusaha menengahinya.

Alasan-alasan yang digunakan seseorang untuk memperjuangkan hak-hak hidup orang lain tentunya didorong oleh kejujuran dan kasih sayang yang lalu  tercipta dalam sebuah moralitas. Manusia tercipta dengan segala kekayaan dan kerumitannya, Tuhan memberikannya satu bagian yang membedakannya dengan makhlukNya yang lain. Satu bekal yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui sesuatu saja tetapi juga untuk memperbaiki kualitas akal. Yaitu akal yang kemudian menjadi hasil pikir, moral.
Etika dan moral adalah buah kebaikan dari sebuah nilai. Nilai kehidupan yang didalamnya terdapat kehidupan, cinta, kebenaran, keadilan, kebebasan, kreatifitas dan lainnya. Ras tidak mampu menunjukkan siapa yang lebih baik, unggul ataupun paling bijak. Semuanya hanyalah ego manusia untuk merasakan lebih dari segalanya.
Moral dan etika dibuat untuk membentengi hal-hal yang kelak akan merugikan orang lain di masa depan. Kedua hal tersebut ada tidak tanpa kesalahan, karena keduanya adalah hasil pemikiran manusia yang berusaha menjadi lebih baik. Kecerobohan, kebodohan, ketumpulan akal manusia tidak menghalanginya untuk selalu berbuat lebih, kesalahan yang pernah dilakukannya akan membuat seseorang tersebut memiliki nilai, moral dan etika tersendiri.

Daftar Pustaka
Crossman, R. H. S. Government and the Governed. London. 1958
Palmer, Frank. Literature and Moral Understanding: A Philosophical Essay on Ethics, Aesthetic, Education and Culture. Oxford. 1992
Plamenatz, James. Man and Society. New York. 1992


[1] Palmer, Frank. Literature and Moral Understanding. 1992.hal.60
[2] Ibid. hal 79
[3] Oakeshott, Michael. The Voice of Poetry in the Conversation of Mankind.
[4] Abraham Lincoln First Inaugural Addresses
[5] Crossman, R. H. S. Government and the Governed. London. 1958.Hal 1.

[6] Abraham Lincoln First Inaugural Addresses
[7] Ibid
[8] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar